“Cukup soal perceraianku, kita balik lagi ke permainan! Sampai mana tadi? Eh, kamu ya Kiran?”
“Ya, kalian belum jawab pernyataanku.”
“Apa tadi? Aku lupa lagi.”
“Pikun!” Kirani geleng-geleng kepala, kesal. “Aku punya kalimat begini, ‘tidak masalah kalau seandainya payudaraku tersentuh tangan laki-laki’”
“Oh yang itu… “Elias menyeringai.
“Iya… terus kalian putuskan apakah kalimat itu benar-benar aku percaya, atau itu cuma kalimat sampah?”
Suasana hening sejenak, Elias menimbang-nimbang, memandang Azzuhri, “Kamu mau jawab apa, Su?”
“Sebenarnya gampang sih, kita kenal Kirani itu bukan tipe orang yang mau mengeluarkan jenis kalimat seperti kalimat pertama. Jadi ya, saya pikir dia asal comot saja.”
Elias mengangguk-angguk, dia juga berpikir begitu, “Sepakat deh, itu cuma kalimat asal comot.” Dia tersenyum.
Kirani mengangkat bahu, “Terserah kalian, cuma aku kasih tahu, jangan pandang aku sebagai sosok perempuan yang terlalu bersih ya...”
Elias memotong, “Eh, kita sudah buat keputusan, jadi jangan lagi bikin pernyataan yang mancing-mancing keraguan!”
“Aku bukan bermaksud bikin-bikin pernyataan begitu kok, terserah kalian mau ambil keputusan apa, aku cuma mau bilang kalau aku tidak sesuci hama seperti yang kalian kira.”
“Nggak kok, kita nggak anggap kamu begitu, iya kan Su?” Elias tertawa sambil menoleh ke arah Azzuhri, yang juga sedang tertawa. Kirani tahu mereka berdua sedang menggodanya.
“Buktinya tadi, kalian seperti yang sepakat kalau aku ini tidak mungkin mengeluarkan pernyataan kontroversial, atau apalah… seolah aku ini, perempuan yang sempurna.”
“Kiran, kamu aneh,” Azzuhri menggeser duduknya, “orang-orang biasanya mau dianggap bersih, kenapa kamu tidak?”
“Bukan begitu Ri, tapi… ya aku suka kalau ditempatkan dalam sudut pandangan normal, manusia biasa, punya dosa juga seperti kalian, begitu lho.”
Azzuhri mengangguk “Iya saya paham maksudmu Kiran, tapi khusus soal pernyataan yang tadi, ‘payudara disentuh’, rasanya cuma orang gila yang bisa bikinnya, atau minimal tipe-tipe seperti Elias ini lah, iya kan?”
“Ah sialan kau Su! Urusan gila baru dituding ke aku.”
Kirani terdiam sejenak. Apa harus kukatakan? Tapi detik berikutnya, bibirnya bergerak sebagai jawaban pertanyannya sendiri, “Aku pernah gila kok.”
Meja hening sejenak, Elias mengangkat alis “Serius?”
Kirani mengangguk
“Kamu pernah sakit jiwa? atau sakit hati?” tanya Elias. “Perempuan kan begitu, perasaannya kadang kelewat tajam, sakit hati dibilang sakit jiwa.”
Kirani mengangkat bahu, “Bisa dibilang dua-duanya. Aku sakit hati, sampai sakit jiwa. Atau bisa juga sakit jiwa, dan setelah sembuh jadi sakit hati.”
“Begitu ya?”
Kirani mengacuhkan Elias, “Atau supaya tampak lebih rumit, bisa dibilang juga kalau sakit hati itu membuka, mengiringi, sekaligus menutup sakit jiwa… tanpa pernah ikut berakhir, semacam lingkaran setan. Tidak berakhir.”
Elias tersenyum lebar, perempuan selalu menarik, tapi perempuan ini lebih menarik dari semuanya. Sebenarnya dia menganggap konsep berpikir Kirani ini lucu, tapi dia juga sekaligus ingin menyelidiki lebih jauh, “Sekarang sudah sembuh?”
“Apanya?”