Meja Bundar

Hendra Purnama
Chapter #22

Bagian 20: INTERLUDE

Elias menghembuskan nafas, seolah lega. Dia memandangi kertas catatan, lalu mengangkat wajahnya menatap teman-temannya. “Kita sudah main tiga putaran. Kita hitung dulu hasil akhirnya,” dia menunduk, mempelajari kertas di tangannya. “Kita mulai dengan pernyataan Asu. ‘Aku pernah membunuh orang’. Aku bilang bohong. Kiran juga bilang bohong.” Elias menoleh ke arah Azzuhri, “Jadi, kamu bohong atau jujur?”.

Azzuhri menarik napas panjang, “Aku jujur.”

Kirani menganga. Elias memandang Azzuhri tak berkedip beberapa detik. “Oh. Wow!” Elias menggeleng-geleng. Ada senyum di mulutnya, senyum yang agak dipaksakan.

“Kamu serius?” Kirani masih tidak percaya.

Azzuhri mengangguk.

“Kamu juga sungguhan memotong-motong dan membakar mayat…”

Elias memotong, “Kiran, bisa nggak kalau kamu nggak teriak-teriak? Ini tempat umum! Sudah ada orang-orang yang nengok lho!”

Kirani merendahkan suaranya, “Tapi, kamu kok bisa menceritakan itu dengan muka tenang?”

Azzuhri menggeleng, “Jangan dikira saya tenang-tenang saja selama ini. Kamu tidak tahu beban yang saya rasakan, baik saat melakukannya atau setelahnya, bahkan sampai bertahun-tahun setelah itu, bahkan sampai sekarang. Perlu usaha keras buat saya untuk berkawan dengan kejadian itu…”

Kirani mengangguk, “Ya, aku paham seperti apa rasanya menyimpan rahasia bertahun-tahun. Rahasia busuk pula. Tapi lihat deh kamu sekarang. Kamu membicarakannya seolah kamu habis membunuh tikus. Bukan manusia!”

“Bisa nggak kalau kamu nggak teriak-teriak?” Elias mulai jengkel juga.

Kirani mendelik ke Elias, sialan… aku menaikkan volume suara saja tidak!

Mendadak Kirani merasa agak gelisah mendengar pengakuan Azzuhri, mungkin karena aku merasa selama ini Ari adalah yang paling waras di antara kita bertiga. Kalau orang sewaras dia saja sudah bisa membunuh, entah apa lagi pengakuan yang aku dengar di putaran-putaran berikutnya!

Azzuhri menjawab pelan, wajahnya mulai mencerminkan beban. “Saya bukan pembunuh berdarah dingin, Kiran. Kadang saya masih ngeri mengingat itu, mengingat bahwa ternyata saya sanggup melakukannya. Tapi—mungkin ini pembenaran—kadang dalam keadaan tertentu seseorang ada di posisi tidak punya pilihan.”

“Akan selalu ada pilihan, Ri…’ Kirani memicing.

Lihat selengkapnya