“Sekarang hitungan babak kedua... Pernyataan pertama, dariku,” Elias melihat catatannya, “aku pernah hompimpah dengan taruhan pindah agama.” Dia mendongak, Azzuhri yang pertama berkomentar.
“Menurutku kamu jujur…”
“Tapi menurutku kamu bohong,” Kirani mengangkat bahu.
“Tapi menurutku ini aneh!” Elias masih menatap catatan di tangannya.
“Apanya yang aneh?” tanya Kirani.
“Aneh kalau dihubungkan dengan tebakan kalian atas pernyataanku sebelumnya.”
“Maksudmu?” Azzuhri ganti bertanya.
“Begini, kamu Su, kamu percaya aku pernah bicara dengan Tuhan, bicara dengan Tuhan adalah sesuatu yang serius… tapi kamu bisa juga percaya kalau aku pindah agama sebagai taruhan hompimpah, padahal hompimpah itu kan main-main. Jadi dia bisa percaya aku melakukan sesuatu yang serius sekaligus main-main.”
Azzuhri cepat menukas. “Karena kamu berkata pindah agama, bukan pindah Tuhan! Tuhan adalah sesuatu yang tidak terbantahkan, agama justru sebaliknya. Meski dalam bentuk yang berbeda tapi semua orang sepakat Tuhan ada, tapi belum ada kesepakatan universal soal apa agama yang benar. Jadi kalau urusannya dengan ‘Tuhan’ pasti benar, kalau ‘agama’ belum tentu.”
“Itu jawaban yang cukup offensif…” Elias bertepuk tangan. “Dikeluarkan oleh orang paling kalem di kamar asrama 101.”
“Kita cuma berdua di kamar itu…”