Pintu kamar tidak tertutup, Kirani bisa melihat Elias duduk di atas ranjang, menggenggam remote televisi, menonton berita kriminal. Dia melangkah masuk. Canggung.
Kirani mengedarkan pandangan, saat itu waktu seperti berhenti sejenak di kaki Kirani. Setelah sekian tahun, hampir tidak ada yang berubah. Warna tirai jendela sama, tapi tampaknya sudah diganti. Coklat susu kusam muram. Ranjang double bed yang sama. Seprai putih, dua bantal dengan sarung yang sama. Selimut beludru senada gorden. Entah itu masih sama dengan yang dulu atau sudah diganti. Lampu yang sama, kapnya yang miring sepertinya juga belum diganti. Meja bulat kecil dan sebuah kursi berlengan yang lapisan kulit sintetisnya mulai retak-retak, mengisi sedikit ruang tersisa di sudut dekat jendela.
“Kamu boleh duduk di kursi sana, ”Elias menunjuk kursi di sudut ruangan, “atau kalau mau duduk di sebelahku sini?” Elias menepuk kasur.
Mendadak seperti ada yang mengaduk perut Kirani. Seperti hendak mendorong keluar lagi semua sarapannya tadi pagi. Ranjang tempat Elias duduk berantakan. Satu bantalnya terjatuh di sisi kiri, yang lain tersandar miring di headboard. Selimutnya tergulung tak karuan, tergulung di sisi ranjang yang lain, separuhnya menjurai ke lantai.
Keberantakanan itu. Seperti ranjang itu. Kirani bergidik, mirip seperti malam itu. Malam ketika dia membuka mata setelah memejam sepanjang dua jam yang serasa dua tahun. Menahan diri untuk tidak membantah, tidak menolak, menurut. Saat ketika batinnya berontak, ketika dia ingin berteriak, ingin melawan dan melarikan diri.
“Kamu baru sampai? Saya kira kamu nyasar kemana…” Azzuhri baru keluar dari kamar mandi
“Aku tidak pakai lift.”
“Oh, terus kenapa masih disana? Masuk!”
“Sepertinya dia risih lihat ranjangku berantakan. Sebentar kurapikan.” Elias berdiri lalu meraih dan melipat selimut.
Kirani melengos, lalu memilih duduk di kursi sudut. Ada asbak dengan abu dan beberapa puntung rokok melesak. Sebuah bloknote kumal tergeletak di sebelahnya. Perutnya makin mual. Saat ini, dia merasa betapa bencinya dia pada Elias dan Azzuhri, karena membuatnya terpaksa masuk ke sini. Bertahun-tahun dia berusaha menghilangkan semua bayangan ingatan tentang kamar ini. Tentang kecamuk antara kepatuhan dan keraguan. Jeritan pertanyaan yang semakin lama semakin keras sejak kejadian pertama, kedua, selanjutnya, selanjutnya...bertahun-tahun berusaha melupakan, sekarang semuanya buyar!
“Bagaimana kalau kita tutup pintunya, supaya kita bisa lebih leluasa melanjutkan permainan?”
“Hei!” Kirani berteriak, hampir berdiri.
Elias tertawa terbahak-bahak, Azzuhri melempar bantal ke kepala Elias.
“Bercanda!” Elias masih tertawa.
Kirani menelan ludah, berusaha menata kepanikannya. “Aku... aku perlu minum...”