Seolah sudah bicara sebelumnya, Azzuhri dan Elias sepakat untuk tidak lagi membahas perilaku Kirani di kamar mandi tadi. Elias lantas bersila di lantai, Azzuhri mengikuti di sebelahnya. Mereka berdua memandang Kirani
“Ayo, duduk sini…”
Kirani tampak sudah sangat tenang, dia tersenyum dan duduk, mereka membentuk segitiga sama sisi, Elias pun membuka pembicaraan, “Oke, kita sudah di sini, aku mau jelaskan semua yang aku bicarakan di luar tadi, terutama soal babak keempat. Kenapa itu penting, kenapa itu harus ada, dan kenapa harus hari ini. Tapi sebelumnya aku mau memastikan sesuatu. Sebenarnya sejak awal kita mulai aku sudah mau bertanya ini. Aku cuma penasaran, kenapa kalian bertahan di game ini sampai sekarang…”
“Begini…” Kirani menukas
“…selain karena kalian menikmati ini dan sayang sama aku?”
Kirani yang sudah siap dengan rentetan jawaban tampak sedikit menarik nafas, mengatur jeda waktu, “Begini ya… pertama, perlu kamu ketahui bahwa kami tidak sayang kamu, atau minimal kami tidak sebegitunya sayang kamu sampai mau bertahan mengikuti kamu di sebuah permainan yang gila macam begini…”
“Artinya tetap saja sayang kan?”
“Jangan terlalu cepat ambil kesimpulan…”
“Kamu kan sayang aku…”
“Tidak!”
“…tapi nggak mau ngaku!”
“Sekali lagi, tidak! Oke, jangan dibahas lagi” Kirani mengeluarkan gerakan tangan, menyuruh Elias diam, “yang kedua, aku tidak tahu dengan Ari, tapi aku secara pribadi… apa ya namanya, menghormati kamu yang sudah capek-capek bikin reunian meski cuma bertiga. Sebagai tamu aku hormati tuan rumah, salah satu cara menghormatinya adalah dengan mengikuti acara yang dia siapkan…”
Jari Elias menuding. “Kamu memang beneran sayang sama aku.”
“Kirani mendelik, “Terserah!” dia lalu bergeser menjauh, lalu mengedarkan pandangan ke seputar kamar.
“Kamu Su?”
“Sederhana, awalnya saya memang bosan juga. Sempat berpikir ini buang-buang waktu.”
“Iya ya, Elias mengangguk tak sabar, “buat bisnisman memang waktu lebih dari segalanya.”
“Sinis banget, waktu itu berharga buat semua orang!” Kirani memotong
“Tenang Kiran, “Azzuhri tersenyum “dia cuma bercanda. Iya maksud saya begitu, pokoknya ini awalnya tampak membosankan dan tidak penting. Tapi lama kelamaan ada sesuatu yang buat saya memutuskan, ‘okelah saya ikut terus’”
“Sesuatu macam apa?”
“Begini Kiran, kita semua punya rahasia yang tidak akan kita bagi ke sembarang orang. Nah, pada satu waktu tidakkah kamu sekali saja ingin jujur atau mengeluarkan apapun yang kamu pendam itu? Mengeluarkannya hanya untuk orang-orang yang kamu percaya?”
“Yang aku tangkap nih, kamu menganggap kalau aku percaya pada kalian berdua, benar kan? Kenapa bisa sampai kesana pemikirannya?”
“Kiran, maaf kalau tersinggung, saya cuma mau tanya. Selain kita berdua, memangnya siapa teman kamu lagi?”
“Banyak.”
“Waktu kuliah?”