Mendengar satu kata: kesepian, tanpa sadar Elias tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia merasa ada yang aneh, seperti ada bagian dari dirinya yang terusik. Kata-kata yang sialan, membuat aku terganggu secara perasaan. Saat itu berulang-ulang sebuah pertanyaan datang mengganggunya:Jadi apa memang benar aku kesepian?
Elias selama ini berpikir bahwa dia tidak pernah merasa kesepian, memang dia suka sendirian tapi bukan berarti kesepian. Bahkan di dalam keramaian aku bisa membuat kotak pembatas yang memungkinkan aku sendirian. Tapi sendirian bukan kesepian. Itu berbeda jauh. Atau mungkin aku tidak sadar akan kesendirian karena selama ini aku memasukannya ke dalam hidupku, ketika aku jadi bagian dari kesendirian itu maka aku dan kesendirian tak akan bisa dibedakan.
Jangan-jangan segala macam galau dan kesepian dalam perjalanan hidup itu aku sendiri yang menciptanya. Aku “merancang”-nya, lantas meletakkannya di tempurung kepala. Setelah itu maka muncul kesendirian. Lalu terbit rindu yang tak jelas ujung pangkalnya. Lalu aku resah, aku gundah, dan aku menerimanya dengan sukarela. Tapi celakanya, seringkali aku malah menikmati setiap penggal kesepian itu, asyik berkutat di dalamnya, sampai lupa bahwa tujuan sebenarnya adalah keluar dari perasaan-perasaan itu itu.
Sialan. Elias memaki-maki keras dalam hati, memaki dirinya sendiri, mendadak dia merasa sangat bodoh, bodoh karena ternyata selama ini dia tidak bisa mengontrol konsep perasaannya sendiri, bodoh karena selama ini dia merasa punya kendali pada perasaan hatinya, bodoh karena selama ini dia merasa bisa menciptakan dan mengelola semua perasaan dengan baik, tapi setelah dipikirkan ternyata yang dia lakukan hanyalah bersembunyi dan berusaha menikmati apa saja perasaan yang datan. Mendadak dia merasa tak paham lagi pada dirinya sendiri…
…dan detik itulah dia mulai merasa kesepian.