Mendadak Kirani pun merasa penat, tapi dia tahu dia harus bicara. “Aku mau cerita perasaan-perasaanku sejak permainan ini dimulai. Jadi sebenarnya, di awal aku merasa sedikit lega bisa ketemu dan cerita-cerita pada kalian. Tapi lama-lama, setiap kali aku bercerita… aku seperti diingatkan bahwa yang kulakukan selama ini tidak lebih dari bersembunyi, mengelak, melarikan diri dari kenyataan, menghindar dari beban yang harusnya aku pikul. Akhirnya, lama-lama kupikir ini akan jadi beban sendiri jika diteruskan, minimal beban buatku. Tapi aku juga tidak bisa lari lagi, sudah terlalu sering aku menghindar dari hal-hal seperti ini. Karena itulah tadi aku berpikir, tidak ada salahnya ini dilanjutkan. Permainan ini latihan yang bagus untukku, latihan untuk tidak menghindari atau mengacuhkan perasaan-perasaan tidak enak. Tapi kukira, satu ronde saja cukup.”
Azzuhri menggeleng “Bicara soal dirimu Kiran, yang saya yakin adalah: kita memang tidak akan pernah bisa lari dari perasaan apapun, atau mencoba melupakan apapun. Iya memang benar kita harus dan diberi kebebasan mencoba lari, tapi sebenarnya tidak pernah benar-benar bisa. Mungkin sebaiknya kita tidak melupakan, tapi menghadapi dan berkawan.”
“Menghadapi, dan berkawan?” Kirani mengulang dengan tanda tanya tipis di ujung kalimat
Elias menyambung, “Karena mau tidak mau kita akan terus hidup bersama kenangan atau perasaan-perasaan yang sialan itu: kesepian, kesendirian, perasaan terbuang, dan banyak lagi. Kita mengalami itu semua, dan saat perasaan itu pergi biasanya kita langsung ingin melupakannya. Tapi nyatanya mau diusir sampai jauh pun dia akan balik lagi. Pemicunya kadang sederhana: sepotong kertas, sebuah sapaan di telepon, bau parfum seseorang di angkot, atau secarik saputangan.”
“Jadi, bisakah kita mengontrol perasaan?”
“Secara teori bisa, ada banyak cara yang bisa kamu temukan di Google, ada dengan cara mengubah fokus, mengubah gerak, mengubah input, mengubah suasana lingkungan, dan banyak lagi….”
“Tapi maksudku bukan itu, karena dengan cara-cara seperti itu kan perasaan-perasaan tadi masih mungkin kembali lagi. Maksudku, ada tidak cara untuk menghentikannya sama sekali.”
“Total?”
“Ya…”
“Bisa!”
“Bisa?”
“Bisa!”
“Caranya?”
“Dengan menghilangkan perasaan itu sendiri. Setelah mereka hilang, tidak ada yang bisa bolak-balik lagi. ”
“Kira-kira saat kapan sebuah perasaan benar-benar hilang?”
“Ah, ayolah Kiran, gunakan imajinasimu…”
Kirani mengerutkan kening, berpikir. Lalu sejenak kemudian menjawab “Kematian?”
Elias tersenyum “Ya, itu maksudku… cuma kematian yang bisa menghentikan perasaan-perasaan itu untuk balik lagi.”
Kirani terdiam sejenak, berpikir, lalu bicara pelan“Aku ingin usul…”
Elias dan Azzuhri berpandangan, mereka berdua merasa Kirani mulai terlibat dalam permainan ini, bahkan mulai mengambil kendali.