“Oke, giliran saya…” Azzuhri menimbang-nimbang sejenak, “ini soal kematian kan? saya tadinya mau ikut-ikutan Kirani, saya juga mau bahas soal cara mati. Tapi saya agak bingung juga, soalnya buat saya yang penting adalah urusan matinya itu sendiri, bukan cara matinya.”
Elias menukas, “Iya, iya aku paham, pikiranmu logis, aku setuju. Karena sebenarnya cara mati adalah urusan orang hidup, sedangkan si matinya sendiri adalah urusan si orang yang mati. Terus pernyataanmu gimana?”
“Yah… begini saja deh, kalau tadi Kirani bilang ‘saya sudah lama ingin mati’ maka saya sekarang bilang: saya ingin mati. Cukup kan?”
“Oke..” Elias menyeringai, “itu boleh saja sih, cuma aku penasaran, mungkin bisa kamu jelaskan caranya?”
“Itu kan tidak penting, betul?” Azzuhri memandang Kirani
Kirani tersenyum, mengangkat bahu, “mungkin ya, tidak penting kalau lihat persepsimu akan kematian… tapi aku juga penasaran, setidaknya aku tadi spesifik bilang caranya, nah kamu bagaimana?”
Azzuhri mengerutkan kening, “Kira-kira apa cara yang bagus?”
Elias mengangkat bahu “Paling tidak ada lima puluh lebih cara membunuh orang, sebagian besar bentuknya hukuman mati, tinggal kamu pilih mau cara yang seperti apa: sakitnya berat tapi matinya lama, atau sakitnya ringan tapi matinya juga lama?”
Azzuhri meringis, “Tidak ada yang sakitnya ringan dan matinya cepat?”
Mereka semua tertawa, Kirani berkata, ”Kamu mau mati saja pilih yang paling enak!” lalu dia menoleh ke arah Elias, “yang sakitnya ringan apa?”