Keluarkan buku catatanmu! Kita hitung hasilnya!” Mata Kirani basah, dia masih menahan marah.
“Oke… oke…” Elias mengambil buku catatan yang tergeletak di atas kasur, lalu duduk lagi di lantai, memandang Kirani “Hei, maaf ya…”
“Aku ingin mati dirajam… menurut kalian?” Kirani mengacuhkan Elias
“Bercanda,” Azzuhri menjawab pelan, “Eh, tapi entahlah… saya ragu-ragu.”
“Kenapa?”
“Karena kamu tahu apa itu hukum rajam, sebab… apa ya, aduh saya jadi bingung menjelaskannya. Karena… mungkin karena saya selalu salah tebak ketika kamu selalu menempatkan diri dalam situasi berlawanan. Sebenarnya saya pikir kamulah yang paling pintar bermain siasat di permainan ini. Kamu selalu mengejutkan kita dengan pernyataan yang berkebalikan dengan kamu secara fisik. Mengerti kan? Kamu bilang mandi lima kali sehari, seperti orang sakit jiwa, padahal secara fisik kamu tampak baik-baik saja. Kamu bilang tak apa-apa payudaramu tersentuh, padahal jangankan payudara, kalau ada laki-laki menyentuh tanganmu pun mungkin kamu sudah berjengit. Justru saya bisa menebak benar tadi ketika kamu bilang soal ‘Mencari Tuhan.’, itu sesuai dengan fisikmu, dengan penampilanmu.”
“Maksudmu, jilbabku?”