Kau tak akan benar-benar mengerti sampai kau merasakan sendiri.
Azzuhri masih belum yakin, apakah kedua temannya sudah bisa mengerti tentang ‘dosa’ yang pernah dia lakukan. Apakah mereka bisa memahami aspek ‘kenapa’?, Saya yakin mereka lebih fokus pada aspek ‘bagaimana’. Bagaimana orang ini bisa begitu keji. Membunuh. Memutilasi. Sekaligus membakar mayat korbannya?
Azzuhri masih mengingat jelas hari-hari dia berlari tak tentu arah. Selalu merasa ketakutan. Selalu merasa diikuti. Diintai. Diburu. Oleh alirannya sendiri. Juga oleh lawan-lawannya. Hari-hari ketika bernapas pun harus hati-hati, hari-hari dimana bersuara berarti celaka. Hari-hari dimana dia harus bergerak ke sana kemari menghindarai ketakutan, sambil terus berusaha sunyi.
Azzuhri masih bisa mengingatnya dengan jelas, saat dada sesak oleh penyesalan berlapis. Semua karena kepatuhan buta yang sudah menuntun pada penyesalan. Tubuhnya yang sering tiba-tiba lemas tak berdaya. Tidak bisa makan. Tidak bisa tidur. Tidak bisa apapun. Andai saja waktu itu dia membiarkan dirinya mati. Tidak peduli akan hal yang waktu itu baginya harus dilindungi. Tidak akan perlu ada beban yang menggelantungi setiap langkah kaki, setiap detak jantung, setiap hela napas.... Pertanyaan-pertanyaan ‘kenapa saya harus...,’ ‘kenapa saya harus...,’ ‘kenapa saya harus....’ Kenapa waktu itu saya harus bertemu dengan orang itu? Kenapa harus mendengar bicara? Kenapa bisa percaya begitu rupa?
“Dengan perspektif yang sama seperti Kirani, saya pikir… semua sudah menduga kalau pernyataan saya jujur, dan memang saya jujur. “
Azzuhri meneguk minumnya tanpa suara. “Saya pernah jadi anggota kelompok aliran sesat,” Azzuhri berkata sambil memandang jauh ke luar, seperti sedang mengenang apa yang dia katakan.
Elias bertanya “Kamu tahu itu aliran sesat tapi tetap masuk?”
“Yah, setidaknya pada saat itu saya merasa itu bukan aliran sesat. Bagi saya apa yang saya ikuti saat itu terasa benar. Hanya orang lain menganggap kami salah. Melenceng. Sesat.”
“Awalnya bagaimana?”
“Saat itu saya sedang melakukan riset awal untuk produksi sebuah film dokumenter. Tema film itu sebenarnya bukan tentang agama atau aliran apa pun, tapi tentang spiritualitas. Kan spiritualitas yang tidak melulu hadir dalam bentuk agama. Spiritualitas bahkan bisa pada akhirnya berbentuk sebuah organisasi. Karena proyek itu, maka saya harus mewawancarai seseorang, dia adalah narasumber yang mewakili golongan yang… bagaimana ya… beragama tapi juga mendalami sebuah aliran spiritual. Termasuk jenis orang yang lebih kuat aliran spiritualisme nya. Kalian paham?”
“Ya, kalau dalam unsur budaya, itu seperti ungkapan: dia itu ‘Islam tapi Jawa’, itu beda banget dengan ungkapan dia itu ‘Jawa tapi Islam’. Disini kata Jawa tidak lagi merujuk pada suku, tapi pada budaya. Mungkin seperti itu kan?
Azzuhri mengangguk “Bisa jadi seperti itu, begitupun orang ini.”
“Agamanya?”
“Islam, tapi ya itu tadi… dia tidak mau disebut beragama Islam. Bahkan dia percaya bahwa alirannya itu adalah agama setelah Islam.”
“Apa namanya?”
Azzuhri menggeleng, “Saya tidak ingin menyebut nama alirannya. Lebih baik saya tetap menyimpannya sebagai rahasia. Cukuplah saya ceritakan bahwa peraturan menjadi anggota aliran itu sangat ketat. Setiap anggota baru dibaiat. Ditoreh jempol tangannya dan wajib menyetempelkan darahnya di kain yang sudah disediakan. Itu sebagai pernyataan ketaatan. Bukan sekedar menjalankan ajaran, tapi juga mengikat persaudaraan dan menjaga kerahasiaan kelompok.”
“Kalau memang kelompoknya itu rahasia, kenapa dia bisa bercerita kepadamu, bahkan mengajak kamu masuk?” tanya Elias.