“Bicara soal perasaan salah, kalian bisa bayangkan nggak perasaanku?”
“Maksudmu?”
“Pernyataanku: Setelah aku mati, aku tidak mau masuk surga atau neraka, itu juga terdorong oleh perasaan bersalah, yang pada akhirnya bermuara pada rasa malu.”
“Oke, jadi kamu mau bilang bahwa perasaanmu itu benar-benar ada, dan pernyataan kamu jujur, begitu?”
Elias mengangguk
“Jadi sebenarnya kamu mau mati atau tidak?” tegas Kirani.
Elias mengedikkan bahu, “Aku bukan tidak mau mati. Ya mau saja, kita memang semua pasti mati. Lagipula neraka atau surga itu kan sebenarnya pada akhirnya hanya jadi semacam konsep tempat. Fokus dari pembahasan semua tema neraka-surga di semua agama adalah perilaku kita saat hidup yang jadi modal untuk pergi ke salah satu dari dua tempat itu. Bukan di tempatnya sendiri. This is not about destination, this is about journey. Nah, masalahnya… aku tidak mau kalau hidupku berakhir di dua tempat itu.”
“Kenapa? Ada hubungan dengan perasaan malu?”
Elias mengangguk “’Sebab Tuhan Alahmu adalah api yang menghanguskan, Dialah Allah yang cemburu’, aku selalu percaya ayat itu. Itu ayat di Alkitab yang menjelaskan tentang menyembah tuhan lain, atau semacamnya. Tuhan itu Maha cemburuan, Dia tidak mau diduakan. Lalu bagaimana dengan aku? Maka buatku, ini adalah keadaan khusus, yang membuat aku merasa tidak berhak masuk surga. Karena bagaimana nanti jika aku harus bertemu Tuhan yang sudah kukhianati?” Elias menggeleng, “bayangkan kamu selingkuh dari pasanganmu, pasangan yang sangat mencintaimu, terus kamu ketahuan, lalu apa lantas kamu masih punya muka untuk ketemu dia?”
Kirani memicingkan mata, menatap Elias “Rasanya agak aneh melihat kamu mengkhawatirkan hal-hal seperti itu.”
“Hei, aku ini sebenarnya religius…”
“Dilihat dari kacamata siapa?”
Elias hanya mengangkat bahu sambil tersenyum pahit. “Karena itulah aku berpikir dari tadi bahwa sebenarnya kita bertiga punya satu kesamaan lagi”
Azzuhri dan Kirani memandang Elias. Mereka sama-sama mengerti apa yang terjadi dan apa sudah mereka lewati. Mereka tidak perlu siapapun untuk menyimpulkan. Tapi mereka memilih diam, membiarkan Elias bicara, setidaknya mereka merasa masih perlu penegasan.
“Tidakkah kalian sadar bahwa kita sudah melakukan sebuah dosa yang—jika dilihat dari sudut pandang agama—maka hukumannya adalah hukuman mati?”
Mereka bertiga saling berpandangan. Diam. Elias melanjutkan dengan suara rendah