“Kita kembali ke permainan awal. Sincerity. Apa yang kita cari?”
Kirani mengangkat bahu. “Mengisi waktu? Cari kesibukan?”
“Ya, pada awalnya itu. Tapi lantas kita tahu bahwa dalam perjalanan permainan ini, muncul tujuan baru. Dimulai dengan selama tiga babak kita bicara jujur—seolah kita memang perlu itu. Kita melewati fase-fase pengakuan dosa yang paling rahasia. Aku merasa badan kita menjerit, dia ingin mengeluarkan masalah terbesarnya. Sekarang setelah masalah ini keluar, dia tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada penyelesaian.”
“Kamu sudah ngomong itu tadi.”
“Cuma penegasan, dan sekarang… bicara soal mati…. Itu bukan hak kita yang menentukan. Agak menggelikan juga sih sebenarnya, karena kita tak diberi hak untuk memilih hidup. Tahu-tahu kita hidup, tidak bisa membantah, tidak bisa protes dan hanya bisa menyerah. Memang sih ada yang mengatakan sebelum roh kita ditiupkan ke badan, ada semacam perjanjian, ada semacam penandatanganan kontrak antara kita dengan Tuhan, disana jelas kita akan jadi anak siapa, rejekinya gimana, lahir di negara mana, matinya kenapa, dan lain-lain. Tapi aku tetap merasa kita tidak punya hak! Kenapa? Aku tidak merasa diajak bicara apa-apa, aku tidak merasa ada secuilpun memori di otakku tentang perjanjian macam begitu. Tahu-tahu mataku terbuka, tahu-tahu aku lahir. Semuanya seperti serba mendadak. Tapi yang membuat ini makin parah, setelah hidup yang mendadak dikasih itu, lantas kita juga tidak punya hak untuk memilih mati,” Elias tersenyum lebar, lalu melanjutkan “tapi sudahlah, mungkin memang aturan mainnya begitu, aku pikir memang ini cuma semacam ekses humor Tuhan saja…”
“Kamu pikir hidup ini cuma bercanda?”
“Bukan! Hidup kita ini serius, tapi memiliki aspek humor Tuhan di dalamnya. Memang kalian kira humor itu tidak serius? Kajian humor adalah kajian yang sangat serius, dan bicara tentang Tuhan… Dia pasti bisa bercanda juga kan? bukankah kita diciptakan sesuai imaji-Nya?Kalau dalam hidup sehari-hari kita bisa bercanda, maka Tuhan pun pasti bisa bercanda.”
“Kalau Tuhan serba Maha, pasti Dia juga Maha Humoris”
“That’s my point!”
“Your point?”
“Karena Tuhan bisa bercanda, maka pasti tak apa-apa jika kita sedikit bercanda juga dengan Tuhan. Caranya sederhana: kita langkahkan kaki sedikit melewati garis batas, hanya untuk tahu bagaimana reaksi-Nya.”
“Apa itu?”
“Freewill”[1] Elias tersenyum.
“Kamu ingin kita bermain-main dengan freewill?” Kirani mengerutkan kening.
“Siapa yang bilang ini main-main? Pada saat sekarang ini…"
Kirani memotong jawaban Elias. “Aku tahu apa itu freewill, tapi kalau dikaitkan dengan alur kisah kita sekarang… tidakkah kamu berpikir bahwa konsep freewill itu terasa ambigu? Karena nyatanya seringkali kita tidak bisa mengelakkan nasib, takdir, lalu cuma pasrah. Antara freewill dengan mati… bagaimana ya, maksudku…bisakah kita menawar kematian?”
Elias mendengus. “Dari awal Tuhan sudah menetapkan bahwa hanya Dia yang menentukan rejeki, jodoh, dan kematian kita. Tapi freewill adalah sejenis kapasitas tertentu untuk memilih tindakan di antara berbagai alternatif tindakan…”
“Apa itu termasuk kematian?” Kirani memotong.
“Rasanya tidak!” Azzuhri menggeleng, dari tadi dia hanya diam.