Apakah mati sudah menjelma menjadi sedemikian menakutkan sehingga kebanyakan orang berusaha menghindarinya? Hatiku bertanya seperti itu ketika mendengar ucapan Elias. Aku satu-satunya perempuan disini, aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Azzuhri, atau mungkin perasaannya saat ini, tapi yang kutahu ada sedikit rasa gentar mendengar kata itu.
Kematian adalah mutlak untuk semua yang bernyawa, bukankah kitab suci sudah mengatakan itu? Dan aku sudah membacanya, dan aku percaya, tapi tetap ada rasa gentar mendengarnya. Dalam artian tertentu, kematian sama dengan rasa sakit. Rasa sakit pun adalah mutlak untuk semua yang bernyawa, dan mengetahui rasa sakit akan datang sering membuat manusia gentar.
Karena itulah rasa sakit merupakan salah satu bentuk interogasiuntuk mengorek informasi, atau juga hukuman mati, sering kubaca banyak hukuman mati pada jaman dulu menitik beratkan pada kematian pelan-pelan—lupakan guillotine, penggal, peluru tajam, atau suntikan sodium petrabonat, coba cari cara kerja coffin torture, dunking stool, atau heretic fork—mereka menginginkan si terhukum merasakan sakit luar biasa sebelum akhirnya mati. Rasa sakit dan kematian memiliki hubungan.
Tapi ketika mendengar kata ‘mati’ tadi, aku langsung membayangkan keduanya, kematian dan kesakitan. Salah satunya sudah kualami. Rasa sakit yang paling besar dalam hidupku kualami di kamar ini, delapan kali. Namun saat itu aku merasakan sesuatu yang lain, ketika bajuku tanggal, ketika malam-malam datang dan suara lelaki-lelaki itu mulai mengerang-ngerang seperti babi, ada rasa sakit menyusup, tapi rasa sakit yang berbeda, sakit ini justru sanggup membawaku memasuki sebuah situasi sakral yang misterius. Ada semacam tetesan kebahagiaan yang diiming-imingkan oleh rasa sakit itu, oleh luka dan kepedihan itu. Pada satu titik—mungkin antara lelaki kedua atau ketiga—aku mulai yakin bahwa rasa sakit dan kepedihan sesungguhnya adalah kebahagiaan yang tidak menjumpai tempat persemayamannya di dalam jiwaku. Mereka ada, tapi terombang-ambing, dan muncul di saat yang diperlukan untuk mengingatkan diriku bahwa mereka ada.
Saat ini, ketika Elias mengatakan kata ‘mati’, aku terhenyak, tapi ketika kutatap dia, aku merasa tidak bisa menatapnya dengan sudut pandang fisik, malah kurasakan dia menjelma jadi cermin yang memantulkan diriku. Lalu ketika kutatap dengan mataku dan kuhayati dengan batinku. Aku merasa bukan aku. Aku merasa lahir kembali sebagai aku yang sama sekali bukan yang kemarin.