Hampir tengah malam. Ini jelas bukan yang direncanakan. Ketiganya tidak mengira mereka masih akan bersama sampai selarut ini. Terlebih dalam suasana seperti ini. Permainan yang bergulir menjadi sebuah percakapan dalam. Semua lampu sudah dinyalakan. Tapi kegelapan mengalir perlahan dari halaman ke dalam kamar. Kesunyian menyusup. Ketegangan menebar di ruangan. Merasuk di tubuh mereka. Mengalir di pembuluh darah. Bahkan Elias seperti kehilangan urat kelakarnya.
“Seri lagi?” Kirani merasa ini semua seperti lelucon, mendadak air matanya menetes, tak bisa ditahan. Ada perih yang menyusup, perasaannya seperti saat seseorang menerima perlakuan tidak adil. Atau justru ini yang adil?
“Kenapa kamu menangis?”
Kirani membelalakkan mata “Karena ini tidak adil! Kenapa harus seri? Kenapa ketika aku sangat memerlukan kematian, lagi-lagi hasilnya tidak kemana-mana?” Kirani menggelengkan kepala, Jarum rolet tidak langsung menunjuk ke arahku, ketika aku aku sudah memasang taruhan nyawa yang begitu ingin kumenangkan.
“Maksudmu apa?”
“Aku ingin… tidak, tidak, aku PERLU kematian! Itu sudah ada jauh sebelum aku terlibat permainan sinting dengan kalian hari ini. Aku ingin, akulah yang dapat nilai terendah malam ini!” Kirani mulai bicara dengan nafas cepat nyaris terengah. Suaranya keluar tertahan terhimpit beban. Air mata mengalir.