“Nah, akhirnya aku menemukan metode yang cocok dengan kita sekarang, sekali lagi kutegaskan, tidak ada satupun diantara kita yang berniat bunuh diri kan?” Elias berhenti sejenak, bukan menunggu jawaban. “Tidak! tujuan kita bukan mati—atau setidaknya bukan semata-mata mati—tapi adalah mencari jawaban. Maka kita harus menempatkan diri di area abu-abu, di pertengahan, pada sebuah paradoks yang memungkinkan kondisi hidup dan mati sama besar…”
“Apa itu?”
“Pernah dengar istilah LD-50 atau MLD?”
Azzuhri dan Kirani menggeleng.
“Oke, MLD adalah singkatan dari Minimum Lethal Dose, semacam rumus penghitungan dosis minimal sebuah obat agar bisa mencapai kematian. Masalahnya, orang selalu berpikir bahwa MLD adalah perhitungan sebagai dosis yang akurat. Padahal mengapa ada istilah LD-50 atau Lethal Dose 50%, karena hanya akan punya kemungkinan membunuh 50% dari sekelompok orang yang mengkonsumsinya. Kalian paham? Kalau dicobakan pada sepuluh orang, misalnya… kemungkinan yang betul-betul mati cuma lima orang, melipatgandakan dosisnya tidak lantas membuat kemungkinannya jadi 100%. Tapi tetap harus diingat, bahwa dosis ini bukan berarti dosis tertinggi yang masih aman, dosis ini tetap punya potensi mematikan. Minimal, orang yang mengkonsumsi LD-50 harus segera dibawa ke UGD.”
“Saya paham arahnya,” Azzuhri mengangguk. “Kita tidak ingin mati, kita masih memberi ruang untuk hidup, tapi batasannya jelas, garis batasnya jelas, kita sendiri yang menentukan.”
Kirani memandang Elias. “Jadi kamu pikir, garis batas yang akan kita langkahi adalah jumlah butiran obat yang kita minum?”
“Ya… sebuah garis perlu ketegasan, dan jumlah butiran obat pun sudah jelas ada rumusnya, ada perhitungannya, kita tinggal ikuti garis itu, hanya saja kita tidak tahu hasilnya apa. Saya pernah dengar cerita ada orang yang tetap selamat meski mengambil dosis enam kali dari dosis LD-50, Tapi tetap saja ceritanya sama, LD-50 tetap jadi resiko yang berbahaya kalau kamu hanya ingin coba-coba, tidak punya rencana untuk mati.”
Elias mengedarkan pandangan sekali lagi, lalu merogoh ranselnya. “Sebenarnya semua obat punya MLD masing-masing, karena toh pada dasarnya obat itu sebenarnya zat kimia kan?”
Dari tasnya Elias mengeluarkan satu persatu bungkusan plastik yang berisi banyak tablet, sambil menyebutkan namanya. “tapi di sini aku hanya punya Aspirin, Paracetamol, Phenobarbital, Benadryl, dan Excedrin, terserah kalian mau yang mana?”
Kirani memandang pil-pil yang ada di hadapannya, nyaris semuanya berwarna putih, hanya Benadryl yang berwarna merah muda. Diterangi cahaya lilin benda-benda itu seolah memancarkan cahaya lembut. Betapa algojo kadang bisa tampil dengan sangat manis.
“Kamu bawa-bawa obat sebanyak ini?”
Elias mengangkat bahu. “Kalaupun kena razia, aku tidak akan dipenjara, ini semua obat legal. Cari saja di apotek, banyak.”
“Iya, tapi kamu bawa-bawa dalam plastik begitu. Lagipula apa pihak apotek tidak curiga kamu sekali beli obat langsung banyak?”