“Paradoks Schrodinger!”
Azzuhri mengangkat alis, Kirani mengerenyit.
“Jangan kalian bilang belum pernah tahu yang namanya Paradoks kucing Schrodinger!”
Azzuhri mengangguk. “Ya, saya pernah dengar.”
“Aku belum, apa itu? Lalu apa hubungannya dengan masalah kita?”
“Rumit, ini penjelasannya bakalan panjang.”
“Tolong dibuat sesederhana mungkin, terima kasih sebelumnya!”
“Oke,” Elias tersenyum, menarik nafas sebentar lalu melanjutkan. “ini sebenarnya kerjaan iseng Erwin Schrodinger di tahun 1935. Awalnya dia berusaha menunjukkan keterbatasan mekanika kuantum, yaitu teori yang bilang bahwa: partikel kuantum seperti atom, bisa berada pada beberapa keadaan kuantum yang berbeda pada saat yang sama.”
“Maksudnya, manusia yang ada di dua kondisi berlawanan pada saat bersamaan, begitu?”
“Kurang lebih begitu, Untuk menguji teorinya maka Erwin lalu membuat eksperimen, dia menempatkan kucing hidup ke dalam sebuah kotak baja selama kurang lebih satu jam. Bersama dengan kucing itu tempatkan juga zat radioaktif dan palu. Pokoknya dengan mekanisme tertentu, bikin kemungkinan dalam waktu yang random, palu tadi bergerak memecahkan si botol dan menyebarkan zat beracun tadi di dalam kotak, dan membunuh si kucing.”
“Hubungannya dengan kita?”
Elis mengangkat tangan. “Sebentar, sabar dulu! Jadi selama kotak baja tidak terbuka, pengamat tidak dapat mengetahui apakah botol sudah rusak, zat beracun sudah menyebar, atau kucing sudah mati. Nah, karena kita tidak bisa tahu, menurut hukum kuantum, dalam satu jam tersebut kucing itu dalam keadaan mati dan hidup.”