Meja Bundar

Hendra Purnama
Chapter #63

Bagian 61: EX AEQUO ET BONO

Di luar kamar itu, cahaya remang-remang menyapu lorong. Pada karpet merahnya, cahaya lampu terjatuh tak rata, menyisakan sudut-sudut gelap yang menggumpal seperti sedang menyimpan bercak-bercak rahasia.

Ratusan orang sudah pernah berjalan di lorong itu, dan siapapun yang melangkah di sana akan merasa terkungkung dalam keheningan yang kering, sebuah kesendirian yang menyiksa. Karena seramai apapun sebuah lorong, tetap ada perasaan menyempit yang tak nyaman saat kita melewatinya.

Lalu dari manapun melangkah, semuanya tetap sama, lorong itu pasti berakhir pada pintu-pintu kayu tebal yang dibuat menjorok ke dalam. Pintu-pintu kuat, titik akhir dari setiap langkah kaki, pintu yang menahan semua suara di dalam, menyembunyikan tiap-tiap degup jantung manusia yang ada di dalam kamar-kamarnya.

Dalam irama degup jantung itulah, seorang Kirani mencoba membuka mata. Terasa berat. Dia mengigil. Ruangan ini begitu dingin, seperti seseorang menyalakan AC dengan temperatur paling rendah selama berbulan-bulan. Dia tidak bisa mengelak dari kepalanya yang seperti akan meledak, perutnya seperti diperas, dan matanya yang makin lama makin gelap. Mungkin dia sudah muntah berliter-liter, tapi dia juga tak pasti. Tidak ada yang bisa dipastikan, semuanya serba mengambang sekaligus membantingnya ke segala arah.

Inikah rasanya kematian?

Kirani menutup matanya, membukanya, lalu menutupnya lagi. Aneh… setiap kali menutup mata, perasaannya membaik. Setiap kali matanya tertutup dia merasa dapat memvisualisasikan segala hal yang dia inginkan, segala yang dia pikirkan, segala yang dia rasakan, segala yang dilewatinya di lantai dasar hotel, segala makanan yang tadi disantapnya, semua seperti bermunculan lagi. Lalu suasana di luar hotel, sebuah kehidupan nyata, dia bisa merasakannya. Semua bergerak begitu cepat, manusia berpapasan, mobil saling menyusul, suara-suara bising, semuanya mengirimkan satu pesan kuat dalam imajinasinya: menyebalkan.

Kalau hidup memang begitu menyebalkan, mengapa orang begitu cinta hidup? Mengapa aku sendiri bertahan sedemikian lama? berusaha mencari jawaban tapi bahkan tak bisa merumuskan pertanyaannya?

Pertanyaan demi pertanyaan datang mengular. Kirani tidak sempat lagi memikirkan semuanya. Dia memejamkan matanya makin erat, terasa telapak tangannya menyentuh sesuatu, sebuah tangan, dingin, ya… sangat dingin. Dia membuka mata, dilihatnya tangannya bertumpukan dengan tangan Elias. Matanya mulai kabur, dia tak bisa melihat Elias, hanya telapak tangannya yang terbuka lemas, dan dingin.

Lihat selengkapnya