Hanya sekejap mata: Elias merasakan ada denyar yang meliputinya. Ketika itu dirinya merasa terbungkus dengan berbagai perasaan yang tak semua bisa didefinisikan, bukan karena tak tahu, tapi karena perasaan itu datang secara bersamaan, bertumpuk, saling menindih, melibas, dan bergumpal. Elias mengerang, seperti dicekoki sesuatu yang akrab dengannya, tapi dalam jumlah besar dan mendadak. Semua gumpalan perasaan itu mencabik-cabiknya hingga dia merasa ambyar. Dia ingin menangis, tapi pada detik dia ingin menangis, mendadak dia merasakan amarah yang sangat tajam, tapi ketika dia ingin mengucapkan sumpah serapah pun mendadak dia merasa sangat pilu, lalu susul menyusul datang rasa kecewa, lalu bahagia, lalu kembali suwung.
Dalam kondisi terombang-ambing, seperti bola yang ditendang kesana-kemari, Elias menyaksikan setiap sel di tubuhnya seolah buyar, berpencar, melesat menjauh, lalu tiba-tiba berkumpul kembali, datang, Begitu terus berulang-ulang hingga pada satu titik dia merasa tenang. Seolah tubuhnya mengalami kelahiran kembali, pada titik itu dia merasa dipenuhi jutaan pertanyaan tapi sekaligus tak punya pertanyaan. Dia merasa ada, tapi sekaligus tak ada di mana-mana. Lalu kini dia merasakan dirinya mengambang, lalu begerak melesat, seolah terbang. Entah menuju ke mana. Sebuah sensasi yang mirip dengan saat kita bermimpi jatuh dari ketinggian.
Tiba-tiba dia membuka mata, tanpa diperintah matanya membuka sendiri! Dengan sangat cepat, seperti terbangun paksa dari mimpi. Gelap. Sisa-sisa perasaan yang menderanya masih berlintasan untuk kemudian pergi, Lalu ada gelap yang sempurna. Lalu ada sunyi yang sempurna.