Ini semua seperti butir pasir yang menempel pada kain celana sepulang bermain di pantai, tak kau inginkan tapi ada. Ini semua seperti seraut wajah yang tertinggal di dalam serpihan waktu. Wajah itu tak bisa dan tak boleh dibawa-bawa tapi ternyata terus mengikuti kemana-mana. Aku berpikir seperti itu sambil melihat deretan gedung pencakar langit dari sebuah jendela yang berkaca tebal. Gordennya yang berwarna merah sudah tersingkap dengan rapi—siapa yang merapikan?—dan membuat bias cahaya yang muram memancar masuk. Tidak ada hangat cahaya matahari, yang ada mendung menggayut, membuat bentang kelabu seperti selimut tebal yang dihamparkan begitu saja di langit.
Sambil terus bersandar, mataku bergerak mencari matahari. Benar-benar tak ada. Aku merenung lagi, sepertinya aku tidak terlalu terpengaruh oleh keberadaan matahari, sebab bagiku waktu sudah benar-benar berhenti. Lagipula, sudah sekian lama aku tahu bahwa cahaya matahari tidak pernah relevan lagi bila dijadikan penanda waktu. Manusia tidak pernah tidur, sebuah kota akan selalu hidup, kehidupan akan terus berjalan tanpa jejak yang benar-benar bisa ditelusuri kecuali lewat cerita-cerita orang tua.
Saat itu—entah dari mana—lamat-lamat aku mendengar suara biola mengalun pelan, entah dari mana. Suara itu begitu menyayat, mungkin orang yang memainkannya sedang memikirkan kesedihan. Ah, ingin aku mengajaknya ke sini untuk bermain di depanku, sekaligus berbagi kesedihan
Sementara di bawah sana kendaraan bersicepat, manusia bergegas-gegas. Di dunia ini tidak ada yang ingat untuk saling menyapa, setiap harinya hanya terdengar suara sepatu beradu dengan lantai, kadang kulihat selintas pemiliknya. Ada yang berkemeja, mengenakan jas, dasi, blazer, rok mini, celana pipa, atau apalagi? Di sini tidak ada ruang untuk dimengerti, tidak ada massa tempat bertanya. Semua bergerak, kadang terlalu cepat sampai aku tidak bisa mengikutinya. Maka aku hanya diam. Diam dan berharap bisa melewatinya.
“Kamu tidur cukup lama…”
Sebuah suara lembut terdengar di sampingku, aku menoleh, mendapati wajahnya di depanku. Aku seperti mengenalnya. Dia perempuan. Tidak terlalu tinggi. Kerudung jingga pucat. Mata hitam. Tajam. Kulit kuning. Lesung pipit dalam di pipi kiri. Di tangannya tergenggam secangkir kopi yang masih mengepul.
Siapa dia? Aku tidak tahu pasti. Tapi aku cukup tersanjung atas sapaannya tadi. Sebab di tempat seperti ini, siapa yang ingat untuk menyapa? aku menggeser kursiku ke samping. Dia pun sudah mendapatkan kursi entah dari mana dan segera duduk di sebelahku. Kami berdua terdiam, memandangi langit dan gedung pencakar langit dari sebuah jendela berkaca tebal yang gorden merahnya sudah tersingkap dengan rapi. Apakah dia yang merapikan?
“Kamu tidur cukup lama…” dia mengulang
Aku terus berusaha mengingat-ingat, siapa dia? Aku mungkin mengenalnya, mungkin nanti aku juga akan ingat. Itulah yang jadi masalah. Terlalu banyak yang harus kulewati dalam hidup yang memang berlangsung cepat, dan karena terlalu cepat kita bisa lupa-lupa ingat pada nama seseorang. Tapi kita akan lebih mudah mengingat wajahnya.
“Kamu siapa?”