Hari-hari setelah malam berdarah itu terasa kabur, seakan dunia sengaja menutup sebagian memorinya. Sena kecil tidak pernah benar-benar ingat siapa yang datang pertama kali ke barak setelah jeritan ibunya. Tentara? Tetangga? Atau hanya hening yang panjang? Yang ia tahu, tubuh ayahnya akhirnya dibawa pergi, meninggalkan lantai semen yang tetap berbau besi meski sudah digosok berkali-kali.
Ibunya berubah. Ia lebih banyak diam, wajahnya tirus, matanya sering kosong menatap jauh. Tangisnya tidak lagi pecah seperti malam itu, tapi mengalir pelan, dalam sunyi. Ia berhenti menyebut nama ayah, berhenti bercerita tentang ayahnya, bahkan berhenti menatap Sena dengan cara yang sama. Seolah satu bagian dari dirinya ikut terkubur bersama jasad Harun Malik.
Sena menjadi anak yang dipenuhi pertanyaan, tapi tidak pernah berani mengucapkannya. Ia bertanya dalam diam: siapa sosok berkerudung hitam itu? Mengapa ayahnya harus mati dengan luka yang aneh? Apakah ibunya tahu sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa jawaban, menekan dadanya seperti batu besar yang tak bisa diangkat.
Malam-malam di barak menjadi lebih sunyi. Tak ada lagi suara berat ayahnya, hanya deru hujan di atap seng dan desah napas ibunya di kamar. Sena sering duduk di dekat lantai tempat ayahnya tergeletak dulu, menatap semen yang sudah kering. Ia membayangkan luka di dada itu, goresannya, kedalamannya, simetrisnya. Ia tidak tahu mengapa, tapi rasa takut itu perlahan bercampur dengan rasa ingin tahu.