Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Apartemenku di sudut Banda Aceh sunyi, hanya suara hujan menetes dari talang yang menemani. Aku menyalakan lampu kecil di meja, membuka laptop, dan mulai menulis laporan autopsi. Kata-kata medis tersusun rapi di layar, tapi pikiranku justru berantakan.
Setiap kali aku mengetik kata "luka simetris", bayangan lama muncul: tubuh ayah di lantai semen, darah yang menggenang, dan sosok berkerudung hitam di ambang pintu. Bayangan itu tak pernah pudar, hanya berganti wajah.
Aku bangkit, berjalan menuju cermin kecil di sudut kamar. Aku menatap pantulan diriku sendiri: wajah pucat, mata cekung, garis lelah di bawah kelopak. Tapi semakin lama aku menatap, semakin asing wajah itu bagiku.
Tiba-tiba, aku melihat sesuatu yang lain.
Tanganku—di pantulan cermin—menggenggam pisau bedah berlumur darah.
Aku terlonjak mundur. Tanganku gemetar, tapi saat aku menunduk, tanganku kosong. Tidak ada pisau. Tidak ada darah. Hanya kulit telapak yang dingin dan basah oleh keringat.