Ruang kerjaku hanya diterangi cahaya layar laptop tua yang sudah menguning di beberapa sudutnya. Hujan masih mengetuk jendela, seolah memaksaku tetap terjaga.
Di folder bernama Rasius_2003, tersimpan ratusan file: foto mayat tak dikenal, laporan autopsi setengah resmi, dan catatan tangan yang kukumpulkan diam-diam. Sebagian sudah kabur, sebagian hanya potongan, tapi semuanya menyimpan cerita yang sama: tubuh-tubuh yang dibuang tanpa nama, luka-luka yang tak pernah dicatat dalam sejarah resmi.
Aku menggulir halaman laporan. Aku berhenti pada satu foto: seorang pria paruh baya, matanya tertutup kain lusuh, dadanya tergores sayatan panjang. Luka itu rapi, simetris. Sama dengan luka ayahku. Sama dengan luka korban-korban yang kutemui belakangan ini.
Jantungku berdegup lebih cepat. Tanganku bergetar saat membuka file berikutnya. Ada lagi. Dan lagi. Tanda luka yang identik sudah muncul sejak 2002—di tubuh orang-orang yang ditemukan di pinggir tambak, di ladang kosong, di dekat pos militer. Semua dengan pola yang sama.
Aku membuka dokumen lain, lebih baru. Arsip digital yang sempat kuunduh dari sebuah situs investigasi. Judulnya membuat bulu kudukku merinding:
"Pengadilan Distrik Washington D.C. merilis kesaksian korban ExxonMobil di Aceh, Agustus 2022."