Meja Otopsi

Fitriyani
Chapter #11

Chapter 11# Markas 15-B

Pagi Kedua di Meurah Dua

Bangunan itu berdiri sunyi di tepi hutan, dinding sengnya sudah karatan, catnya mengelupas, dan atapnya dipenuhi lumut. Warga menyebutnya Markas 15-B—sebuah pos tidak resmi yang dulu dipakai aparat saat masa darurat militer.

Aku melangkah masuk bersama Ardi. Bau apek langsung menyergap, bercampur dengan aroma tanah lembap dan debu yang menahun. Lantai semen retak-retak, di beberapa sudut masih ada bercak gelap yang tak pernah benar-benar hilang, meski waktu sudah lama berlalu.

"Tempat ini kosong sejak 2005," kata Ardi pelan, senter di tangannya bergetar kecil. "Tapi warga bilang dulu, malam-malam sering terdengar jeritan dari sini. Setelah itu, ada labi-labi keluar, menuju arah tambak atau hutan."

Aku tidak menjawab. Aku merasakan dadaku menegang, seolah bangunan tua ini menyimpan napas masa lalu yang berat. Napas yang sama dengan yang kurasakan di barak seng tempat ayah terbunuh.

Di dinding, coretan nama-nama samar masih terlihat. Sebagian ditulis dengan arang, sebagian dengan ujung besi tajam. Aku mendekat, menyusuri satu per satu dengan senter: "Iskandar," "Pawang Cut," "Rahmi." Lalu mataku berhenti pada sebuah tulisan yang hampir pudar: "Harun."

Jantungku berhenti. Tanganku gemetar memegang senter.

Itu nama ayahku.

"Sena?" Ardi memperhatikan perubahan wajahku. "Kau kenal nama itu?"

Aku menelan ludah, memaksa suaraku tetap stabil. "Mungkin hanya kebetulan. Nama yang umum."

Lihat selengkapnya