Subuh di Gampong Ulee Blang terasa hening. Kabut tipis masih menggantung di sawah ketika suara azan pertama berkumandang dari meunasah. Di halaman, warga sudah berkumpul, membawa tikar dan kain kafan putih. Dua kerangka yang kami temukan dari Hutan Meurah Dua kini telah dibersihkan seadanya, siap dimakamkan dengan doa.
M. Nasir berdiri di depan, wajahnya sembab tapi matanya mantap. Ia menatap kerangka ayahnya, lalu adiknya, dan berbisik lirih:
"Abi… Mudasir… akhirnya pulang (ka geuwoe)."
Aku berdiri di antara warga, jas putihku kontras dengan pakaian sederhana orang kampung. Aku melihat tubuh-tubuh itu diselimuti kafan, dipanggil dengan nama, dibawa dengan kehormatan yang selama bertahun-tahun dirampas.
Tak ada lagi "kerangka tanpa identitas."
Hari itu, mereka kembali menjadi M. Yunus dan Mudasir.
Doa mengalun, sederhana tapi penuh air mata. Warga mengangkat kedua jenazah ke pundak, berjalan pelan menuju pemakaman desa. Di sepanjang jalan, anak-anak menatap dengan mata besar, mungkin belum sepenuhnya mengerti, tapi akan selalu mengingat hari ketika dua nama yang hilang akhirnya kembali.
Aku menunduk, merasakan sesuatu yang berat mengalir di dadaku. Selama ini aku hanya fokus pada luka, pada pola sayatan, pada misteri pembunuhan. Tapi pagi itu, aku menyadari: lebih dari sekadar menemukan siapa pembunuhnya, pekerjaanku juga adalah mengembalikan manusia pada nama, pada doa, pada rumah.
Tanganku mengepal. Ini bukan hanya tentang ayahku lagi. Ini tentang semua orang yang namanya dihapus, yang keberadaannya dilenyapkan dari ingatan.
Ardi berdiri di sampingku, menatap prosesi dengan raut yang sulit kubaca. Ia diam lama, lalu berbisik, "Dok, setidaknya hari ini ada yang selesai."