Meja Otopsi

Fitriyani
Chapter #16

Chapter 16# Jejak Yang Memimpin

Ruang otopsi malam itu seperti bumi bagian antartika—dingin, sepi, dan penuh rahasia. Hanya dengung lampu neon dan denting alat bedah yang menjadi teman ketika aku menatap tubuh kelima yang terbujur di meja baja. Tubuh itu seolah masih menyimpan sesuatu, sesuatu yang belum selesai dikatakan.

Setelah percakapan panjang dengan ibu kemarin malam, pikiranku tidak tenang. Setiap kali menutup mata, aku melihat bayangan berkerudung hitam, dan di baliknya siluet ayahku. Lelaki yang dulu kuanggap pahlawan, kini menjadi nama yang disebut dengan bisik-bisik dan kutukan.

Ardi berdiri di sudut ruangan, matanya tak lepas dari layar rekam data. “Kau belum tidur lagi, ya?”

Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya. “Masih ada laporan yang belum lengkap.”

Dia mendekat, menatap tubuh di meja. “Korban kelima. Pola lukanya sama dengan empat sebelumnya.”

“Tidak persis,” kataku sambil memegang pisau bedah. “Ada keraguan di tengah garis luka. Pelaku mulai ragu… atau mulai sadar.”

“Mulai sadar apa?”

Aku menatap bekas sayatan di dada korban. “Bahwa dia bukan lagi hanya membunuh. Dia sedang mengingat.”

Aku menyalakan perekam suara dan mulai bicara dengan nada datar, seolah sedang menyalin pesan dari tubuh itu sendiri.

“Luka melintang di dada, dua puluh tiga sentimeter. Pola simetris, tekanan konsisten. Bekas sayatan menunjukkan pelaku terlatih, mungkin memiliki latar medis atau militer. Pola waktu kejadian identik dengan tanggal operasi Rasius.”

Aku berhenti, menatap kalender kecil di meja. Lima tanggal. Semuanya berurutan, semuanya memiliki arti.

Tanggal 3: penyergapan pertama.

Tanggal 8: eksekusi di Meurah Dua.

Tanggal 14: penghilangan massal.

Tanggal 21: penemuan kuburan pertama.

Dan hari ini tanggal 27 adalah hari terakhir operasi itu dijalankan dua puluh tahun lalu.

Aku menatap Ardi. “Kau lihat ini? Setiap korban mati pada tanggal yang sama dengan peristiwa Rasius.”

Dia menatapku ragu. “Kau yakin bukan kebetulan?”

“Tidak ada kebetulan dalam ritme sepresisi ini,” jawabku. “Ini pola. Pembunuh ingin mengulang sejarah. Tapi dengan arah terbalik.”

Ardi terdiam. Aku tahu dia mulai memahami.

Lihat selengkapnya