Sena menatap amplop kusam di meja kerjanya. Tidak ada nama pengirim. Hanya cap pos yang samar dari kota yang sama dengan lokasi kuburan massal yang baru ia buka. Saat ia membuka lipatan kertas itu, selembar foto jatuh—foto keluarga sederhana: seorang pria, seorang wanita berhijab, dan dua anak kecil tersenyum di depan rumah kayu. Tapi senyum itu terasa jauh, beku.
Di balik foto, ada tulisan dengan tinta hitam: "Mereka juga punya nama. Mereka juga punya keluarga."
Sena menahan napas. Tenggorokannya kering. Dalam beberapa minggu terakhir, ia hanya melihat tubuh-tubuh tak bernama di meja baja. Kini, wajah-wajah itu punya cerita, punya cinta yang dirampas. Di pojok surat itu, tertulis sebuah nomor telepon tanpa keterangan apa pun.
Ia ragu. Tapi sesuatu di dalam dirinya menuntut jawaban. Ia mengangkat telepon, menekan angka-angka itu perlahan. Tiga nada sambung. Lalu sebuah suara perempuan menjawab, berat tapi tenang.
"Kau anak Harun Malik, kan?"
"Siapa ini?" suara Sena bergetar.
"Kau tahu apa yang dilakukan ayahmu?"
Sunyi panjang menyusul. Suara napas dari seberang terdengar pelan, seperti seseorang yang sedang menahan air mata.
"Aku ingin bicara," kata perempuan itu akhirnya. "Tentang mereka yang hilang. Tentang ayahmu yang membuat kami hilang."
Sena memejamkan mata. Nama ayahnya, Harun Malik, mantan komandan Operasi Rasius, sudah lama ia simpan dalam ruang paling gelap hidupnya. Ia tahu ayahnya terlibat dalam operasi "pembersihan" itu, tapi ia tidak pernah tahu sejauh apa kebenarannya.
"Temui aku," suara itu melanjutkan. "Aku akan ceritakan apa yang terjadi tahun 1996. Saat jaring merah ditebar di Lhokseumawe."