Melamar Guru Negeri

Mustofa P
Chapter #2

Kawan Yang Diumpat

Sebetulnya banyak yang iba melihat rusuknya. Juga pada tulang berbalut daging ditubuhnya itu. Sering ditawarkan kepadanya sarapan oleh tetangga, langsung menolak. Sudah dipaksa-paksa malah menggeleng, mengucap terimakasih lalu lari. Hingga banyak yang enggan menawarkan lagi, menunggu dirinya meminta sarapan sendiri. Kapanpun itu, orang-orang di kampungnya akan melayani.

Dengan polosnya ia beralasan menunggu ibunya kembali dari menjajakan sayur mayur keliling lintas dusun. Baru kemudian bersama-sama akan makan siang. Istikamah duduk di atas hamparan tikar di gubuknya yang berlantaikan semen tak terawat. Duduk dengan rentetan tanya kepada ibunya. Seandainya itu bukan ibunya, pasti sudah dibentaknya agar fokus memakan hidangan daripada berbicara. Dibiarkannya sang anak mengoceh, dan sesekali menjawab tanya yang dilontarkan sang anak. Sesekali sang ibu memberi tahu khawatir tersedak, maka telanlah dulu kunyahannya baru bersuara. Saban hari, keceriaan ananda menghiburnya di ruangan itu. Ruangan yang penuh kehangatan, meski tak ada apa-apa serupa hiburan. Radio, televisi, kursi tamu, lukisan dinding, dan foto. Hanya jam dinding yang bertengger sendirian.

* * *

Pagi harinya adalah hari liburan sekolah. Setelah mandi mewangi, ia pun kembali beredar. Lalu tiba di rumah kawan, yang sudah sekolah dasar. Ia masuk saja kerumah temannya itu. Sempat mengucapkan salam. Tak ada jawaban, sedangkan pintu terbuka. Biasanya, kawannya berada di kamar. Kalau sudah salam, menurutnya sudah pemakluman jika nyelonong saja.

Sesampainya di pintu kamar, dirinya dikejutkan suara parau nan besar. Gemuruh seperti suara jin gua yang mengaung. Suara yang menggema di telinga. Tak disangka, ia akan menyaksikan adegan yang jarang dilihatnya. Tentang betapa dilarangnya suatu permainan. Dimana ia suka memainkannya. Boneka dan barang rongsokan.

"Kamu itu sudah besar! Sudah kelas empat. Main sama boneka kusam milik tetangga yang sudah dibuang. Buat apa dipungut? Ini juga. Orang-orangan dari besi karat, ditumpuk-tumpuk ditali begitu. Apa bagusnya?!" Hardik ayahnya si kawan. Mengomel dengan gemuruhnya bak jin gua. Menyeramkan. Bergidik bulu roma. Kawan hanya takut dan tertunduk. Tak berani menyentuh boneka yang ditunjuk-tunjuk. 

"Harusnya baca buku! Biar otak ada isinya. Kamu tahu itu kan? Bukan mengisi otak dengan khayalan dari boneka kusut dan besi karatan begini!" Umpatan berikutnya. Bergidik lagi bulu roma dibuatnya. Dilihatnya, kawan kian mengkerut dalam duduk bersila. Kepala tertunduk, yang kian berat untuk terangkat. 

"Dasar bebal! Berapa kali sudah bapak bilang, hah?! Jangan main kayak gitu, nyerocos sendiri. Gila kamu nanti."

Ayah kawan berdiri, bersungut-sungut. Napas tersengal-sengal lantaran meluapkan kemarahannya. Mondar-mandir barang sebentar, menggelengkan kepala, dan berhenti sejenak di depan kawannya yang bersila. Ayahnya hendak marah lagi. "Dan lihat ya, kamu mau nyuci bajumu jam berapa? Liburan sekolah, malah manja. Siapa yang mau mencucikan seragam, Hah?! Pikir itu, pikir!" Bentakan keras menjadi-jadi. Bagai jin jahat yang mengaum.

Semula berjingkat riang hendak bermain dengan kawan yang berada di kamar itu. Seketika gelegar amarah ayah kawan menciutkan nyalinya. Saking kaget dan takutnya, ia mematung di bibir pintu kamar. Begitukah bila ayah atau ibunya marah? Akankah ia dimarahi bila nantinya menikmati liburan sekolah malah rebahan dan bermain bersama teman khayalan? Ia mematung tanpa suara, sesekali sadar keberadaannya harus tanpa kentara. Saking cekingnya, tidak ada keluarga yang menyadari dirinya sedang menyaksikan umpatan dari amarah itu.

Lihat selengkapnya