Pikiran kritisnya menerawang lagi sebuah pertanyaan. Bukan dia, jika tak suka bertanya kemana-mana. Bukan ibunya, jika tidak sudi menjawab dengan sabar. "Bu, apa itu kacung?" Tanya ananda.
"Kamu tahu dari mana kata itu?' Sang ibu heran hingga balik bertanya.
"Aku kerumah teman. Aku sudah salam lho, Bu. Tapi tak ada jawaban. Temanku biasanya main di dalam kamar. Aku masuk saja. Tak tahunya sedang dimarahi sama ayahnya. Ya itu, yang marah-marah bagai jin gua yang jahat."
"Oh, pantas tadi kamu bertanya apakah bapak-ibu kalau bertemu suka marah-marah." Ujar ibunya, mencoba memahami alasan ketakutan anak lima tahun didepannya itu jika ayahnya datang. Sedangkan anaknya jarang bersua ayah, ditinggal merantau melulu. "Kenapa temanmu dimarahi?" Tanya ibunya kembali.
"Soalnya sudah kelas empat masih main boneka. Padahal aku juga suka main boneka. Apa itu dilarang ya Bu?"
"Tentu tidak sayang. Lalu kamu takut dengan orang tuanya? Pantas, tadi mukanya seperti ketakutan. Apa takut jadi tidak berguna ya, nak?" Selagi bertanya, kembali ibu tertawa tanpa suara. Sekadar gerahamnya terlihat. Geli merasakan pertanyaan polos sang buah hati, akan boleh tidaknya main boneka. Tentang apa hubungannya dengan orang berguna dan boneka.
Sang buah hati mengangguk, takut jadi orang tak berguna kelak. Ia berhenti sejenak bicaranya, masih memasukkan nasi jagung dicampur remasan ikan asin, lalu dijejali kembali dengan sayur urap dan irisan daun pepaya. Setelah cukup lumat, lisannya bersuara kembali. "Habis ayahnya marah-marah, terus keluar kamar. Supaya tak ikut dimarahi, aku sembunyi dibawah sofa. Lalu aku kembali menengok keadaan teman di kamar, kulihat ibunya mengelus kepala temanku. Eh, sama temanku ditepis. Bunyi, 'Plas!' Ibunya kaget. Marah-marah juga akhirnya ke temanku. 'Kamu kalau tidak disiplin, buang cita-citamu jadi guru. Kamu harus kaya, jadi polisi, tentara, atau anggota DPR biar tidak seperti ayahmu yang cuma jadi kacung. Lalu ayahnya masuk kamar lagi dan bertengkar, Bu. Gelas dilempar, pecah. Aku jadi takut. Ayah-ibunya seperti kesurupan."
***
Nasi ibunya sudah habis. Dilipatnya daun pisang pembungkus nasi jagung itu, ditali karet rapi agar sisa sambal tidak jatuh. Sedangkan sang anak masih mengunyah, tinggal sepertiga porsi. Ibu mencelupkan tangan pada mangkok tempat cuci tangan. Menanti buah hati selesai makan, sambil menjulurkan kaki di atas alas tikar agar otot-otot merenggang. Dialah hiburan sang ibu dengan pertanyaan-pertanyaan darinya, di ruangan tanpa kursi dan televisi itu.
Nasi jagung dihadapannya tinggal satu suapan. Tanpa lauk, sebab sudah habis dikunyahnya semua. Giginya yang rapi tiada berlubang, mampu melumat makanan dengan sempurna yang ada di bungkusan. Tak seperti ibu yang masih menyisakan sambal, di piringnya tidak tersisa sebutir pun. Ajaran ustadz Musyafa, nasihat untuk membersihkan piring dari butiran. Agar berkah Allah meliputi apa yang dimakan. Dimana kata ustadz Musyafa, bisa jadi pada butiran terakhirlah berkah dan rahmat-Nya tersimpan.