Ammar membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja meeting. Ia harus bergegas, karena akhir pekan adalah jadwalnya berkunjung ke rumah tahfidz milik seorang ustaz. Beberapa ayat Al-Quran telah dihafal, dan harus segera disetorkan.
Semua aktivitas menghafal Al-Quran telah ia lupakan sejak bekerja. Padahal hingga lulus kuliah dulu, hampir sepuluh juz yang telah lekat di memorinya.
Berkat Safiya, putri sang ustaz lah menghafal jadi agendanya kembali, di samping memperhatikan grafik penjualan produk.
Safiya, putri sulung Ustaz Ramlan. Gadis soleha yang murah senyum. Ammar tidak sengaja bertemu dengan sang gadis saat jadi relawan banjir tahun lalu. Lantas, pemuda itu mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan Safiya, hingga membawanya ke rumah tahfidz yang kebetulan membuka kelas untuk dewasa.
Di rumah tahfidz itu juga Ammar bertemu dengan empat orang teman yang sebagian besar berusia di bawahnya. Sama-sama penghafal Al-Quran, bahkan beberapa sudah menghafal banyak, berpenampilan menarik, dan sangat mapan. Juga, dari sorot mata dan cara mereka membicarakan Safiya, Ammar bisa menerka, mereka juga menaruh hati kepada putri sang ustaz.
Ammar sangat berkeinginan segera meminang Safiya. Namun, ia akan minder dan keberanian menguap entah kemana saat menghadap Ustaz Ramlan yang juga dekat dengan teman-teman Ammar. Rasa khawatir ditolak dan patah hati selalu menghantui Ammar ketika sudah membulatkan tekad. Jadilah sang rasa tetap terpendam rapi di dasar hati. Entah kapan akan pemuda itu utarakan.
Hal yang selalu Ammar lakukan adalah memandangi Safiya dari jauh, seperti saat ini. Sang gadis tengah sibuk menurunkan buku-buku dari dalam mobil untuk disimpan di perpustakaan kecil yang menjadi bagian dari rumah tahfidz.
Hanan, teman satu kelas Ammar yang sedari tadi duduk bersama di teras musala segera menghampiri Safiya. Memang, dari sekian pemuda yang menaruh perhatian pada sang gadis, Hanan lah yang paling menampakkan hasratnya.
Lagi-lagi Ammar hanya bisa memandang. Betapapun rasa itu membuncah di dada, ia belum memiliki keberanian untuk mengeksposnya, terlebih sejak menyadari, jika Hanan juga tertarik kepada Safiya.
Hanan tampak berjalan dengan kedua tangan menenteng dus penuh buku yang cukup berat. Ia sangat bersemangat. Bahkan, saat semakin dekat dengan Ammar, pria berkaca mata itu memamerkan deretan gigi putihnya.
Hanan dan Ammar baru saling mengenal sejak sama-sama mendalami hafalan Al-Qur'an di rumah tahfidz. Keduanya menjalani profesi yang berbeda. Jika Ammar adalah pimpinan marketing di perusahaan produsen busana muslim, Hanan merupakan seorang pemilik coffee shop.
Mereka cukup dekat. Hanan yang usianya empat tahun di bawah Ammar, tidak segan meminta saran kepada sang teman yang menurutnya jauh lebih dewasa. Mengenai banyak hal, terutama perihal bisnis dan strategi pemasaran.
"Mas, nanti mampir ke kedai, ya. Saya mau launching menu baru, minta pendapat Mas," ucap Hanan sesaat setelah kembali dari membawakan buku-buku milik Safiya.
Ammar menunduk demi menyembunyikan senyum kecutnya. Lihatlah, Hanan bahkan masih semringah, setelah berada di dekat Safiya. "Oke, tapi ngga bisa lama," jawab Ammar.
Hari berangsur senja, meninggalkan Asar para penduduk bumi yang telah ditunaikan. Ammar memandangi interior kedai kopi milik Hanan. Sepertinya, sang sahabat sudah melakukan banyak perubahan, sesuai saran Ammar tempo hari. Nuansa kayu lebih mendominasi, sehingga menambah hangat suasana.