Jalanan yang macet memang sudah biasa di jam pulang kerja seperti ini. Kabarnya, sudah bukan pemandangan umum di ibu kota, tetapi kota-kota lain pun turut merasakannya kini. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor meningkat pesat setiap tahunnya, sementara angkutan umum yang mulai berbenah tidak sepenuhnya membuat masyarakat tertarik untuk menggunakannya.
Bagi Garneta, angkutan umum baik dulu maupun sekarang adalah tempat yang sempurna untuk mengusir sepi. Bahkan hingga remaja, gadis berhijab itu selalu menikmati suasana riuh di bis atau kereta. Hal lain yang tidak kalah menyenangkan baginya adalah memandangi wajah setiap wanita dewasa sembari menerka adakah di antara mereka yang mirip wajah sang ibu, atau mungkin justru ibunya sendiri.
Kala itu, Garneta rindu dan semakin rindu di setiap harinya kepada Desy, mama yang memilih pergi jauh meninggalkan sang gadis sejak usia tujuh tahun. Lantas, segala rindu melebur setelah mereka kembali bertemu saat Garneta berusia 22 tahun.
Ternyata, pertemuan tidak seindah yang dibayangkan oleh gadis berkulit cerah itu. Garneta yang telah dewasa mulai memahami alasan sang mama pergi. Jika selama ini ia tidak terlalu menggubris setiap selentingan miring mengenai Desy, kini semua perlahan terbukti kebenarannya.
Sekarang, angkutan umum juga jadi tempat Garneta mengenang masa di mana rindu yang mendera terasa lebih baik dari sebuah kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Garneta telah menghabiskan waktu lebih dari tujuh tahun di sebuah pondok pesantren, menjalani hidup damai dan jauh dari gejolak. Namun, setelah sang kakek meninggal dunia dan masa pengabdian selepas kuliah usai, hidup menjadi jungkir balik bagi sang gadis.
Tinggal bersama Desy dan Sisilia--sang adik tiri--dijalani Garneta demi menunaikan wasiat sang kakek, Aziz. Rasa bersalah, karena tidak pernah memberikan izin kepada Desy untuk bertemu Garneta menghantui Aziz hingga akhir hayat.
Sementara itu, tinggal bersama Desy pada akhirnya adalah sebuah ketidaknyamanan bagi Garneta.
Sudah hampir dua tahun mereka tinggal satu atap. Dua bulan berlalu semua berjalan wajar. Namun, selanjutnya Desy mulai menampakkan kebiasaan minum alkohol dan pergaulan bebas yang tentu saja tidak pernah dijumpai oleh Garneta. Ditambah lagi Sisilia yang juga mengikuti jejak sang mama.
Suara house musik sudah terdengar sejak Garneta membuka pintu. Cahaya ruang tamu di rumah besar itu pun sudah dibuat redup dengan pantulan cahaya warna-warni yang seakan mengikuti hentakan musik.
'Hari ini bahkan mulai lebih sore.'
"Hai, Neta. Kamu sudah pulang rupanya? Mama lagi cek persiapan buat party malam ini. Ada client penting yang mau datang." Desy berkata riang. Ia sama sekali tidak perduli dengan mimik kesal Garneta.
"Neta ke kamar dulu, ya, Ma." Garneta secepatnya berlalu.
Lima hari yang dihabiskan untuk bekerja keras mengumpulkan uang selalu Desy imbangi dengan akhir pekan yang gemerlap. Paling tidak dalam satu bulan ada dua hari ia menyulap rumah layaknya night club. Bersenang-senang di rumah lebih seru dan tidak terlalu membutuhkan banyak biaya.