Ngantuk.
Begitu keluh Haikal selama menuju masjid. Ia bahkan terus menguap dan sesekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Jika sang kakak tidak membangunkannya dengan cara brutal, mungkin ia akan sholat di rumah kemudian tidur lagi.
Hanya saja, ia ingat kata Abinya, melangkahkan kaki ke masjid itu berat rasanya. Kasur di kamarnya lebih menarik ketimbang sajadah masjid. Selimut tebal bermotif Manchester United, lebih hangat ketimbang baju koko dan sarung songkoknya. Begitulah tipu daya dunia yang indah namun berakibat fatal. Sekalipun berat, remaja tujuh belas tahun itu tetap memaksakan diri pergi ke masjid. 'Nanti juga kalo udah wudhu seger lagi,' begitu pikirnya.
Baru saja Haikal melepas sebelah sandalnya, seseorang dengan seenak jidat menginjak swallow hijau favoritnya. Awalnya ingin memaki, namun begitu melihat si tersangka penginjak sandal, Ikal memasang wajah datarnya.
"Biar setannya ilang," ucap remaja yang seumuran dengannya itu. Matanya ikut tersenyum begitu ia tersenyum. Jika perempuan yang di senyumi seperti itu mungkin akan mimisan di tempat. Tapi tidak dengan Ikal. Ia normal ya.
"Malah muncul setan yang baru," ucapnya sambil berjalan santai menuju tempat wudhu.
"Diiiiih semprul!" Alvano merangkul Ikal. "Gue bilangin Abi Ustad loh ya abis ngatain gue setan!" Ancamnya sembari berjalan bersama menuju tempat wudhu.
"Gue gak bilang lo setannya," ucap Haikal santai. Alvano pasrah, kalah ia jika bicara dengan temannya yang satu ini.
Keduanya kemudian melepas peci yang mereka gunakan dan menggulung celana mereka, bersiap untuk wudhu karena adzan sudah mulai berkumandang.
"Si Jundi nih pasti yang adzan," celetuk Alvano—atau yang biasa di panggil Vano. Tangannya padahal sudah berada di atas keran.
Haikal melirik Vano sekilas. "Ya siapa lagi, di komplek ini kan cuma dia anak seumuran kita yang punya suara emas. Karena dia juga, anak cewek jadi rajin ke masjid dan ikut ngaji subuh," jelasnya berdasarkan fakta.
"Suara lo juga bagus!"
"Tapi bangun paginya gak bagus. Kalo gak di bangunin teteh, gak bakal ke masjid dia!" Bukan Haikal yang menjelaskan, tapi seseorang di belakang mereka. Zainal. Orang itu tersenyum lebar saat Haikal dan Vano meliriknya.
"Siapa sih? Sok kenal banget?" Vano menggedikan bahunya menjawab pertanyaan Haikal. Mengabaikan Zainal, keduanya mulai menyalakan keran dan—
"Gak gue kasih contekan lagi loh, ya!"
— ia merangkul Haikal dan Alvano. Mencekik lebih tepatnya. Rangkulan mautnya pada leher mereka begitu menyesakkan pernafasan. Beruntung Zainal tahu batas dirinya, jadi ia tak merangkul terlalu lama.
Lepas dari rangkulan Zainal, Vano terbatuk dan menatap temannya itu tajam. Jika saja Zainal tak berperan penting dalam masalah tugas—meskipun pada dasarnya dia dapat mencotek dari anak perempuan—, mungkin ia akan melakukan pembalasan pada temannya yang satu ini.
"Heh itu air nya kalo gak di pake jangan di nyalain kerannya! Kayak yang bayar iuran mck aja!" Sosok Iyang muncul dengan bijaknya—tumben.
Tapi mereka paham, kalau Rian atau biasa di panggil Iyang itu sudah begini artinya ia sedang bersama ayahnya. Karena itu, mereka buru-buru mengambil air wudhu. Takut kena marah pak RT lagi mereka, pak Kuncoro itu kalau sudah marah ya marah.
.
Selepas sholat subuh, anak-anak akan berkumpul di majlis untuk tadarus bersama dan mendengarkan ceramah dari Ustad Salman. Hal itu, sudah menjadi kegiatan rutin di komplek Suka Makmur. Beruntung banyak warga yang menanggapinya dengan positif.
"Psstt, Kal!" Alvano berbisik pelan memanggil nama temannya itu.
"Apaan," sahut Haikal namun pandangannya masih lurus ke arah sang Abi yang tengah memberikan ceramah.
"Pulang ngaji ke alun-alun, kuy!"
Haikal melirik Vano sekilas, kemudian kembali menatap Abinya lagi. "Ngapain?"
Alvano memandang sekeliling, kemudian menunduk namun matanya fokus pada Haikal. "Jemput saudara gue di stasiun!"
"Ajak Zainal, Jundi atau Iyang aja. Gue males," sahutnya pelan.
"Mereka juga ikut! Lo gak kangen emang sama abang?"
"Lo anak tunggal, abang dari mana? Istri simpenan bapak lo?!" Vano menghadiahi cubitan pada paha Haikal. Temannya ini perlu saringan untuk memfilter ucapannya memang. Karena itu Vano heran, Haikal ini anak kandung Ustad Salman atau bukan?
"Bang Mark, lo inget gak? Yang dulu nolongin lo pas kecebur kali!"
Mendengar nama itu, Haikal otomatis melirik Vano. Sudah lama sekali sejak tragedi ia jatuh ke sungai, saat itu usianya masih tujuh tahun. Dan sekarang, ia tujuh belas tahun. Artinya sepuluh tahun ia tak bertemu penyelamatnya itu. Ia juga penasaran, bagaimana rupa sepupu Vano itu sekarang. Kalau tak salah ingat, bang Mark itu seusia dengan tetehnya. Ingin rasanya Haikal menukar sang teteh dengan sepupu Vano itu.
"Dia mau ke sini? Ngapain?"
"Kerja, ngurus cabang perusahaannya om Misbah di sini," jawabnya. Ia melirik ke depan sesekali, takutnya Ustad Salman memergoki mereka tengah mengobrol.
"Serius lo? Artinya dia bakal tinggal di sini?"
Vano mengangguk, "Bahkan barang-barangnya udah ada di rumah gue,"
"Kok dia naik kereta?"
"Pengen nikmatin udara pagi di sini katanya."
"Lah apanya yang bisa di nikmatin, enak naik pesawat."
"Bang Mark mah gitu, walaupun banyak duit tapi dia gak pernah nunjukin."
"Beda ya sama lo, banyak duit dikit main nunjuk-nunjukin dompet."
"Yeuuu tapi lo juga dapet traktirannya kan?"
"Iya sih!"
Keduanya asyik mengobrol, hingga tak tahu jika Ustad Salman tak menjelaskan lagi. Justru semua orang kini fokus pada obrolan keduanya.
"Eh No, kok kayak hening gitu ya?" Haikal bertanya kebingungan. Ia sudah tak mendengar suara Abinya lagi. Keduanya kemudian mengangkat wajah mereka perlahan dan langsung bungkam begitu semua mata mengarah pada mereka. Iyang yang biasanya mengkode juga nampak di tahan mulut dan tangannya oleh Jundi dan Zainal.
"Haikal, Alvano, tolong berikan contoh hadist keutamaan shalat di masjid!"