ANDA boleh saja berpikir, bahwa buku ini ditulis garagara Anies Baswedan menjadi salah seorang tokoh yang diundang dalam konvensi Partai Demokrat (PD) untuk menjadi calon presiden pada Pemilu 2014. Namun, sebenarnya buku ini telah saya siapkan jauh sebelum muncul rencana PD menyelenggarakan konvensi, sejak sekitar pertengahan 2012. Tetapi begitulah, alasan klasik barangkali: berhubung sulitnya menemukan waktu di sela-sela berbagai kesibukan, maka penulisannya pun majumundur. Repotnya, lebih banyak mundurnya ketimbang maju.
Belakangan, yang membuat saya maju lagi secara cepat dan bersemangat adalah ketika mendapat “lampu hijau” dari Anies Baswedan sendiri. Lalu kian menggebugebu setelah ada bantuan dari rekan saya, Reno Muhammad, yang menolong proses penyelesaiannya. (Terima kasih banyak, Mas Reno! Terima kasih juga untuk Syahar Banu, mahasiswa Jurusan Falsafah dan Agama Universitas Paramadina yang pernah saya repotkan pada tahaptahap awal). Harus diakui memang semangat itu kemudian kian menyala setelah ramai berita tentang pencalonan Anies di konvensi Partai Demokrat itu.
Semula semua bagian buku sudah final pada 8 Desember 2013. Tetapi, belakangan sebagian naskahnya mengalami “renovasi” pada awal Januari 2014, khususnya pada bagian yang berkaitan dengan sejarah keluarga Anies dan perkembangan nama Anies dalam percaturan politik di konvensi Partai Demokrat.
Anies sendiri memang pribadi yang menarik. Dia gemar turun tangan, sekaligus juga senang mengajak orang lain ikut memikul masalah bersama untuk kemudian mencari penyelesaiannya bersamasama pula. Dia tak ingin kita hanya menjadi tukang cela, jago protes, yang hanya pandai berteriak atau memaki tanpa berbuat apa-apa.
Memang Anies sependapat bahwa setiap orang perlu meraih impiannya. “Tetapi melampaui mimpi itu jauh lebih baik,” katanya dalam salah satu kicauannya di Twitter pada 23 Juni 2012. Atau, seperti kata Anies dalam kicauannya pada 8 Desember 2013 (pukul 16:08), “Bisa melihat perubahan itu biasa; bisa membuat perubahan itu baru keren.” (Tweet itu pada pukul 17:00, artinya selisih satu jam setelah ditayangkan, sudah digaungkan 84 kali).
Sejalan dengan itu, kita selayaknya tidak ingin hanya bermimpi tentang citacita atau segala yang indahindah, atau sekadar urun rembug lewat kata (baik bicara maupun menulis) dalam menyikapi masalah yang ada. Tetapi semestinya kita bertindak secara nyata, ikut menyelesaikan masalah yang ada—menjangkau lebih daripada sekadar yang kita impikan. Ya, itu tadi: turun tangan menyelesaikannya secara bergandengan, secara gotong-royong. Mulai soal korupsi, masalah pendidikan, partai politik, hingga perkara kekerasan atas nama agama, dan banyak lainnya. Anies tak mau kita hanyakoar-koar, mencela, atau mengutuk. Menurutnya lebih baik produktif bila kita menyalakan lilin—meski itu tampaknya kecil, ketimbang mengutuk kegelapan.
Akibat pemikiran Anies itu banyak orang yang kemudian tertarik, tercerahkan dan tergugah olehnya. Orang banyak pun kemudian menjadikannya contoh keteladanan yang unik. Lalu berbondongbondong orang mengikuti jejaknya. Dia berhasil memotivasi banyak orang. Menggerakkan. Anies menjadi semacam “lokomotif” bagi aktivitas-aktivitas yang berguna untuk orang banyak, bagi anak-anak bangsa.
Di antara pelbagai langkah nyata Anies yang unik, “orisinal”, dan bermanfaat bagi (dan sangat digemari) masyarakat luas, sebagaimana banyak dari kita sudah tahu, adalah beberapa gerakan seperti Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala, dan Kelas Inspirasi. Di level kampus, langkah Anies yang bergaung luas adalah program Paramadina Fellowship bagi lulusan SLTA berprestasi, dan Paramadina Social Responsibility bagi lulusan SLTA di sekitar Kampus Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Selain itu, Anies dan kawankawannya juga mencanangkan Program Dual-Transkrip (transkrip nilai akademis dan transkrip record kegiatan) bagi mahasiswa Paramadina, dan penerapan mata kuliah Antikorupsi sebagai Mata Kuliah Wajib di Universitas Paramadina, yang kemudian diadopsi beberapa perguruan tinggi lain.
Tentu bukan hanya itu. Ideide, gerakan, dan langkah nyata Anies dalam ragam kegiatan lain masih banyak—dan ratarata disukai banyak kalangan, mulai dari mahasiswa, akademisi, wartawan, politisi, budayawan, hingga para pengusaha. Sehingga Anies pun tak luput jadi perbincangan di sana-sini—bahkan jauh sebelum dia menjadi moderator debat calon Presiden tahun 2009, ataupun ketika dia menjadi Ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Februari 2013.
Pelbagai seminar yang dihadiri Anies selalu dipadati publik; temu wicaranya di televisi menyedot banyak pemirsa. Dia juga menjadi media darling setiap kali bicara. Nyaris tak ada media yang tidak tertarik memuat atau menyiarkannya. Baik media di dalam negeri maupun media internasional.