Malam ini ada dua cara yang harus kuhadiri. Pertama, pertemuan yang akan membahas penyakit masa kini yang banyak menyerang anak-anak bahkan orang dewasa usia produktif. Akibatnya, saudara dan warga sebangsaku harus bekerja keras jika ingin tempat kami tinggal tetap sehat.
Aku berharap pertemuan nanti tidak menghabiskan malamku, karena masih ada satu acara yang sangat sayang kutinggalkan. Konser Night Saliva Band. Aku sudah membuat janji dengan beberapa kawan. Dan kami akan bertemu di depan loket Amfiteater Hidro Musik, tempat konser diselenggarakan.
“Aku juga ingin nonton konser Night Saliva, Mal. Masa aku tetap kebagian jagain Karti. Curang kamu!” Imay kesal. Ia memeras ruang basal hingga airnya keluar. Makin lama, ia memeras makin kuat. Dan iarpun meruah-ruah keluar melewati kelopak Karti yang sedikit terbuka.
“Hei, apa yang kau lakukan? Dia sudah lelah seharian. Jangan kau eksploitasi ruang basalnya. Bisa-bisa dia akan menyakiti diri sendiri,” kata mengingatkan.
“Memang itu kesukaannya. Kan dia ingin tampak tegar, kuat, kokoh, super duper woman. Dia nggak mau jika ada yang menjulukinya cengeng, cemen, sebutan yang bikin dia makin lemah. Kalau ruang basal tidak dikosongkan, hati dan pikiran dia yang bakal kosong. Kasihan kan?” Imay berargumen.
Benar juga!
“Oke. Tapi jangan sekarang. Lagi pula kamu nggak berhak menjadikan sikap Karti sebagai tunggangan dan alat kekesalanmu. Itu sama sekali tidak fair. Bisa-bisa malah dia didiagnosa sakit mata. Hmmm… Bukankah orang miskin dilarang sakit?” kataku.
Imay tertawa sambil menghentakkan kakinya hingga pangkal hidung Kartinah berkedut-kedut.
“Seandainya kamu bukan kembaranku, bakal kubuat kamu gak bisa kemana-mana,” Imay memercikkan air mata Karti padaku. Akibatnya Jubah Penjaga Haru yang kupakai tampak ada bintik-bintik air. Sungguh mengesalkan.
Aku tidak sempat berganti busana. Sirine dari Balairung Tangis Raflesia sudah membahana di seluruh Nusantara. Sesaat kemudian aku sudah melesat meninggalkan Imay dan Kartinah. Samar-samar aku masih mendengar teriakan Imay, “Kembalilah dulu sebelum ke konser ya!” Ah, tentu saja tidak akan kulakukan. Selain membuang-buang waktuku, aku tahu, Imay itu memiliki banyak muslihat.
***
Seandainya saja seluruh bangsa kami menghadiri pertemuan malam ini, niscaya besok pagi dunia maya akan dipenuhi berita duka. Begitulah pemimpin pertemuan membuka topik bahasan malam ini. Orang-orang seperti Kartinah yang lebih suka menyembunyikan luka, duka, sedih, papa, bahkan menguburnya, bakal berada pada titik jenuh kesanggupannya.
“Ibarat bom waktu, reaksi ledakannya seringkali tak terduga. Data yang masuk ke Dewan Lakrimalination, untuk wilayah Indonesia sendiri, jumlah orang yang mengalami depresi makin lama makin meningkat. Begitu juga orang yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ini menunjukkan ini menunjukkan kinerja kita semua patut dipertanyakan. Cobalah untuk meningkatkan kerjasama dengan Adrenalination dan Pituitarination lebih bagus lagi. Buat orang-orang ini bisa memperbaiki emosinya dengan menangis. Suka tidak suka, fakta dari data ini menjadi peringatan keras bagi kita, bahwa kita belum totalitas menjalankan amanah semesta,” suara pemimpin yang lantang ditebarkan angin malam yang dingin, dipantulkan awan-awan putih dalam dekapan malam gelap, hingga membahana bagai sirine peringatan ke seantero Nusantara.
Aku yakin Imay mendengarnya. Dia pasti tertawa gembira tidak menghadiri pertemuan ini. Apa yang dikatakan pemimpin, sudah sering menjadi diskusi kami.
“Kasihan Kartinah. Badannya memang kekar, ototnya terlatih, tapi batinnya rapuh. Ia banyak menelan pengalaman buruknya, karena menurutnya hal itu wajar terjadi pada orang-orang miskin sepertinya. Jangan menangis, karena menangis tak mengubah status miskin menjadi kaya. Menangis tidak membuat hutang-hutangmu lunas. Yang fatal, menangis tidak serta-merta membuat sekelilingmu kasihan padamu,” Imay memperjelas pendapatnya tentang Kartinah, saat itu.