MELANGITNYA DOA KARTINAH

Tjut Zakiyah Anshari
Chapter #4

[Bagian 1 - DUNYAKU] 4. ANAK LAKI-LAKI YANG MENANGIS

Benar saja. Keesokan harinya setelah malam itu, Yudhi kembali meninggalkan rumah. Kali ini ia berangkat jauh sebelum suara adzan subuh berkumandang. Dia tak ingin melihat atau mendengar tangisan saat kepergiannya. Atau mungkin, jauh di lubuk hatinya, ia tidak ingin berberat hati untuk meninggalkan mereka. Kata lakrimalnya, Yudhi sangat mengasihi mereka. Hanya karena hatinya tak lagi dapat berdebar saat bersama Kartinah, dia memilih untuk memeluk perempuan yang mendebarkannya kemana pun kakinya melangkah.

Malam itu, tak seorang pun bisa memejamkan mata. Pikiran mereka melalangbuana sangat liar di belantaranya masing-masing. Semua merasakan sedih, marah, kecewa, dan takut. Entah mengapa perasaan itu dengan cepat dan kuat menyergap. Padahal mereka sudah terbiasa hidup tanpa kehadiran Yudhi untuk waktu yang lama.

Mungkin, mereka sedang membayangkan hal yang sama. Yudhi tidak akan pernah mereka temui lagi. Atau, seandainya pun mereka bisa bertemu, itu hanya akan terjadi setelah kepergiannya yang teramat lama.

Ah Yudhi…. Yudhi… Seandainya saja ia pandai menimbang rasa, memilih kalimat penghiburan daripada kejujuran, mereka pasti tidak seberduka ini. Misalnya, “Selama apapun bapak pergi, bapak pasti ke sini untuk melihat kalian.” Walaupun kalimat itu terasa aneh, tetap menghadirkan dinding beton yang tinggi, setidaknya mereka melihat ada pintu harapan yang dapat terbuka untuk pertemuan mereka.

Mungkin maksud Yudhi baik. Ia tidak ingin memberi harapan terlalu besar. Ia tidak yakin pada diri sendiri bakal bisa memenuhi harapan mereka. Lebih baik jujur meskipun hati-hati polos itu bakal terluka lara. Yudhi yakin, waktu akan menyembuhkan luka-luka itu.

Aku dan Imay terus menajamkan pendengaran untuk mencuri dengar obrolan para lakrimal anak-anak Kartinah. Mereka bersusah payah untuk menahan suara tangis agar tak terdengar oleh ibunya. Tangis ibu mereka semakin menghancurkan hati-hati bocah yang sebenarnya masih sangat rapuh. Apalagi untuk menanggung masalah ini, yang sebenarnya teramat sulit untuk mereka pahami. Kepala mereka banyak pertanyaan ‘mengapa’ yang entah kepada siapa akan diajukan saat ini. Begitulah cerita para lakrimalnya.

Mata Kartinah merah dan kelopaknya bengkak. Azan subuh terdengar sayup-sayup. Rumah sederhananya yang terletak di tengah kebun, jauh dari pemukiman warga, jauh pula dari masjid. Dia melewati anak-anaknya yang masih terpulas di ruang utama saat hendak keluar untuk berwudlu.

Aku dan Imay berusaha membuang rasa penasarannya dengan terus mengalirkan buliran air yang membasahi matanya. Dengan begitu, dia tidak bakal membangunkan anak-anaknya. Mereka tidak boleh tahu kalau Kartinah menangis semalaman. Dengan begitu juga, dia tak akan melihat mata-mata anaknya pun merah dan kelopaknya bengkak. Anak-anak itu hanya pura-pura tidur.

Kami mengobrol saat Kartinah salat subuh di samping anak-anaknya yang ‘disangka’ masih tertidur. Sebenarnya Kartinah ingin salat di kamarnya. Tapi ia khawatir, ia akan lebih banyak menangis daripada membaca bacaan salat, karena memori kamar itu akan mengganggunya.

“Ini kali pertama Tirta menangis seberat ini. Hatinya benar-benar hancur. Kami sangat kaget dan kelabakan. Yang tidak kami duga, banyak sampah yang bertahun-tahun dia simpan, sekarang turut terbuang,” kata Tamala, lakrimal kanan Tirta.

“Karena dia anak sulung, takdir di tangannya ya bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Semua itu telah membentuknya menjadi pribadi yang tegar. Tepatnya, pribadi yang harus pandai menyimpan sampah-sampah yang membuatnya terlihat lemah di hadapan bapak ibunya,” kataku yang dibenarkan Tamala dan Tamali.

Lihat selengkapnya