”... sesungguhnya impian aku adalah tumbuh tua bersamamu.
Menghabiskan sisa waktuku bersama kamu.”
—Gamal
Gamal
Lobi rumah sakit ini agak ramai. Sekelompok anak muda baru keluar lift. Sepertinya, mereka baru membesuk teman yang dirawat di sini. Namun, obrolan mereka terlalu berisik.
Mungkin mereka lupa, ini bukan mal atau kafe tempat biasa mereka menongkrong. Kadang kalau kita sedang dalam kelompok, kita jadi bersuara lantang. Menjadi mayoritas membuat kita tak acuh pada lingkungan sekitar.
Gue menahan diri untuk enggak langsung ber- komentar, untuk sekadar berbisik ke Ninna, “Abg-abg itu berisik banget ya, Nin,” misalnya. Biasanya, kami terlalu peka pada keadaan sekitar. Namun, gue sedang berusaha membuat Ninna enggak terganggu. Jadi, yang gue lakukan cuma mengusap-usap punggungnya. Mencoba membuat istri gue lebih nyaman selama menunggu.
Erio belum juga muncul. Hari ini, dia menawarkan diri menjadi sopir. Sahabat gue itu bilang, lebih baik gue menjaga Ninna daripada mengendarai mobil sendirian.
Gue menyetujui. Namun, gue lupa kalau Erio itu orangnya lelet. Mestinya, sebelum keluar kamar tadi, gue harus sudah bilang ke Erio dulu kalau gue dan Ninna sudah menunggu di lobi. Sederhananya, janjian sama Erio begini: kalau mau berangkat pukul 5, mesti bilang jalan pukul 3. Jadi, timing-nya bisa pas.
Ninna tampak gelisah dalam duduknya. Gue melongok lagi ke luar lobi. Tanda-tanda kemunculan Erio masih belum ada. Malahan, abg-abg tadi melintas di depan gue dan Ninna sekarang. Obrolan mereka jadi enggak sengaja kami dengar.
“Enggak nyangka gue, bisa sakit juga tuh anak!” ucap salah satunya. Lelucon lawas itu masih saja dipakai. Dulu memang terkesan lucu. Namun, sekarang gue justru mempertanyakan maksudnya. Hell yeah, gue jadi lebih sensitif sekarang. Apalagi membicarakan soal kata sakit.