Ninna
Aku masih saja memandang ke luar jendela mobil.
Bukan karena kejenuhan yang kualami selama di rumah sakit hingga aku butuh keramaian, melainkan demi menghindari tatapan Gamal. I know he cares about me a lot.
Bahkan, kerap aku berpikir bahwa cinta dan perhatiannya sebagai suami tak lagi manusiawi. Satu perkara yang justru membuat aku merasa sangat bersalah atas kondisi yang telah aku alami. Dan menghadirkan pengandaian-pengandaian, bagaimana seharusnya aku membalas kebaikan Gamal dengan sesuatu yang bisa membuatnya bahagia.
Seperti ketika dalam perjalanan pulang meninggalkan rumah sakit ini, misalnya. Aku kerap membayangkan kalau aku akan duduk di mobil ini sambil menimang bayi yang baru kulahirkan, dengan Gamal yang duduk di sebelah untuk menjagaku dan bayi kami. Gamal akan menegur Erio sesekali jika sahabatnya itu membawa mobil sedikit ugal-ugalan. Lalu Gamal mengecup keningku dan anak kami bergantian. Tersenyum lebar atas kebahagiaan yang sempurna.
Namun, itu semua hanya bisa terjadi dalam khayalan.
“Kamu enggak istirahat?” tanya Gamal ketika pandanganku tak kunjung lepas dari apa yang ada di luar sana.
“Aku sudah overdosis tidur,” jawabku, dan Gamal langsung memaklumi. Dia memperbaiki lagi posisi bantal di punggungku. Sebisa mungkin membuat rasa pegal di punggungku berkurang. Lalu dia menggamit sebelah tanganku, mengangkat dan mengecupnya lembut. Mengusap-usapkan punggung tanganku ke pipinya, lalu meletak kannya di atas pangkuanku tanpa melepaskan geng gamannya.
Lamunanku yang tadi muncul lagi. Membayangkan indahnya perjalanan pulang ke rumah bersama anak kami. Dalam suasana yang sepertinya tak bisa dijelaskan, karena kata orang bahagia itu cuma bisa dirasakan, bukan dideskripsikan. Namun, genggaman tangan Gamal saat ini membuatku seolah berada di momen yang sama.
Apakah kamu tetap bahagia bersamaku saat ini, Gamal? Apakah kamu tak merasa kalau aku adalah biang keladi atas apa yang terjadi?
Gamal memang tidak mendengar suara hatiku. Lagipula aku tidak akan menanyakan hal itu karena aku tahu justru itu akan membuatnya marah. Namun, aku juga tak bisa memungkiri pertanyaan yang timbul karena kegelisahanku itu tetap muncul sesekali. Dalam benak dan hatiku.
Ketika mobil yang kami tumpangi akhirnya mendekati rumah kami di kompleks Blue Valley, aku melihat beberapa orang sudah berdiri di teras rumah. Ada Luna—sahabatku, juga Prisma—tetanggaku dan beberapa yang lainnya.
Luna langsung menghampiriku dari teras dengan langkah kakinya yang cepat.