Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #1

Tertangkap!

Salah satu rumah megah di Menteng masih menyalakan lampu ruang tengah, meski malam telah larut. Di dalamnya, enam orang duduk mengelilingi meja makan kayu mahoni, larut dalam kehangatan keluarga. Piring-piring penuh lauk tersaji rapi. Rendang mengepul, menyebarkan aroma yang langsung merebut hati anak tengah. Sementara si bungsu menyodorkan sendok ke ibunya, meminta disuapi meski usianya tak lagi pantas untuk itu. Sang sulung duduk bersisian dengan pasangannya, jemari mereka saling bertaut seperti sepasang pengantin baru yang masih tenggelam dalam bulan madu.

"Malam seperti ini selalu Ayah rindukan," ucapnya sambil menatap ke arah Olin yang bersandar di bahu suaminya. "Dulu rumah ini ramai, tapi sejak Olin punya keluarga sendiri, rasanya jadi sepi." Ayah menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada setengah bercanda, "Sekarang Nachia juga makin sibuk. Pulang sekolah langsung hilang entah ke mana, sibuk sama teman-temannya. Alya? Ah, dia malah lebih suka nempel terus sama ibunya."

Suasana meja makan pecah oleh tawa. Nachia sampai menepuk meja sambil tertawa keras. "Aku main juga sebentar doang, kok," katanya dengan nada setengah mengejek, matanya melirik ke arah ayah. "Lagian, ayah kan sibuk kerja terus. Eh, giliran aku ada waktu buat main, malah ayah yang nggak ada kerjaan di rumah."

Alya langsung bersorak, ikut mendukung Nachia. "Ih, bener banget, Kak!" serunya dengan mata berbinar. "Ayah tuh selalu sibuk sendiri, tapi pas kita ada urusan lain, malah protes."

Ayah menghela napas, merasa tersudut oleh celoteh kedua anaknya yang masih remaja. Tapi tak ada lagi yang perlu diperdebatkan, jadi mereka melanjutkan makan. Waktu terus bergulir, membawa malam semakin larut. Udara di rumah mulai terasa lebih sunyi—sebuah isyarat bahwa sudah waktunya mereka beranjak ke kamar, meskipun besok adalah hari Minggu.

Malam itu, Nachia dan Alya sepakat untuk tidur bersama di kasur mereka. Film di Netflix menjadi alasan sederhana untuk menghabiskan waktu berdua. Di meja kecil di samping tempat tidur, semangkuk popcorn buatan Bi Ola mengepul hangat, aromanya mengingatkan mereka pada bioskop. Tapi yang membuat malam ini istimewa bukanlah film atau popcorn itu sendiri—melainkan kebersamaan yang jarang mereka dapatkan. Mereka bukan tidak mampu pergi ke bioskop, bahkan jika mau, mereka bisa menyewa seluruh kursinya hanya untuk berdua. Tapi waktu mereka yang sering tak pernah bertemu membuat momen sederhana ini terasa jauh lebih berharga.

Di saat rumah mulai tenggelam dalam sunyi, ayah mendapati Olin masih duduk sendirian di rooftop. Angin malam berembus pelan, mengibarkan ujung rambutnya. Dia tak berkata apa-apa, hanya menatap langit yang bertabur bintang, seolah mencari sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. 

"Kamu masih belum tidur?" tanya ayah pelan.

Olin tersenyum tipis, matanya masih menatap langit. "Jarang banget malam setenang ini," gumamnya. "Aku nggak mau buru-buru tidur. Pengen menikmati malam lebih lama."

Olin menatap mata ayahnya. Keheningan menggantung di antara mereka. Tanpa kata, ayah merengkuh putri sulungnya dalam pelukan hangat. Dia tahu, tak perlu pertanyaan malam ini. Terkadang kata-kata hanya akan memperdalam luka. Jadi dia memilih diam—membiarkan Olin bersandar, memberi ruang hingga putrinya siap berbagi cerita dengan sendirinya.

Malam semakin larut, membawa keheningan yang hanya dipecah oleh suara angin menyapu atap. Di rooftop rumahnya, ayah dan Olin duduk berdampingan, membiarkan jeda panjang di antara mereka berbicara lebih dari sekadar kata-kata. Mungkin tak ada cara cepat untuk memperbaiki hubungan yang sempat retak, tapi malam ini mereka mencoba. Apa pun yang telah terjadi dalam hidup Olin, ayahnya tahu—tak peduli seberapa jauh putrinya pergi, pelukan rumah selalu terbuka untuknya.

***

BRUK!! BRUK!! BRUK!!

Suara ketukan pintu yang menggema membangunkan seisi rumah. Nachia terlonjak dari tempat tidurnya, jantungnya berdegup kencang saat dia bergegas menuruni tangga dan membuka pintu. Seketika matanya membelalak—di hadapannya, ayah berlutut dengan tangan terborgol, wajahnya tegang. Di belakangnya, beberapa pria berjaket hitam berdiri, salah satunya menggenggam senjata.

Teriakan ibu memecah malam, menusuk telinga Nachia. Olin berdiri kaku, tangannya gemetar saat mencoba menenangkan ibu yang menangis histeris. Sementara itu, Alya menerjang maju, tangannya mengepal, berusaha memukul siapa pun yang berani menyentuh ayah mereka.

Mereka menyeret ayah keluar rumah. Langkahnya berat, tertunduk, tanpa sedikit pun perlawanan. Seakan menerima nasibnya, dia hanya mengikuti arah tarikan borgol di tangannya.

Nachia menatap punggung ayahnya yang semakin jauh, perasaan berkecamuk di dadanya. Dalam hati kecilnya, dia ingin ayah menoleh, ingin mendengar ayah meyakinkan mereka semua bahwa ini hanya kesalahpahaman—bahwa dia tidak bersalah. Tapi itu tidak terjadi. Tak ada kata-kata pembelaan. Hanya sunyi yang menyakitkan

Lihat selengkapnya