Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #2

Kehidupan Baru

Nachia masuk ke dalam kawasan di Tanah Abang melewati jalan-jalan sempit yang berkelok seperti labirin. Dari jalan utama yang riuh dengan kendaraan dan pedagang kaki lima, masuklah ke sebuah gang kecil yang hanya cukup dilewati oleh satu motor. Gang ini dipenuhi lapak-lapak sederhana yang menjual kopi, gorengan, hingga pulsa elektrik, dengan pemiliknya yang duduk santai di bangku kayu, mengamati siapa saja yang lewat.

Semakin masuk ke dalam, lebar gang semakin menyusut. Lantai gang sebagian sudah dipasang paving, tapi banyak bagian yang retak atau menganga, memperlihatkan tanah lembab di bawahnya. Ada genangan air di beberapa titik, bercampur dengan sisa air cucian dari rumah-rumah di sekitarnya. Bau khas gorengan bercampur dengan aroma limbah yang mengendap di selokan kecil di sisi gang, yang mengalir malas ke arah yang entah ke mana.

Di beberapa belokan, tembok rumah terlalu dekat satu sama lain, membuat sinar matahari sulit masuk. Kabel listrik bergelantungan rendah di atas kepala, terjalin semrawut di antara tiang-tiang bambu atau dinding rumah. Beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki, bermain bola plastik di ruang sempit, sementara seorang ibu menjemur pakaian di tali yang diikatkan antara dua rumah.

Sampai di ujung gang, jalan semakin menyempit, hanya cukup untuk satu orang berjalan. Di depan ada tangga sempit dari semen kasar yang mengarah ke rumah-rumah di atas, dibangun bertumpuk seperti sarang lebah. Tak ada plang nama jalan, hanya ingatan penghuni yang menjadi petunjuk arah bagi siapa pun yang berani masuk lebih jauh ke dalam.

Ibu baru saja mendapat kabar: seluruh harta yang dimilikinya ikut disita. Bahkan tabungan yang dia simpan selama ini ternyata dianggap bagian dari aliran dana korupsi. Tidak ada yang tersisa. Dengan berat hati dia akhirnya harus meminjam uang dari Olin—sesuatu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dari uang itulah dia membeli sebuah rumah kecil untuk tempat mereka bisa tinggal sementara.

Olin mendengus kesal. “Kalian yakin mau tidur di sini?” tanyanya dengan raut wajahnya penuh kekhawatiran.

“Emangnya kenapa sih, Lin?”

“Ya, aku cuma nggak mau aja kalau sampai ibu harus tinggal di tempat sekumuh ini,” gerutunya. “Seenggaknya minta bantuan sama saudara ibu. Mereka tuh kalau lagi susah datangnya ke kita. Sekarang kita yang lagi kesusahan, mereka malah entah ke mana!”

“Ibu nggak mau terus-terusan pinjam uang. Ke kamu aja belum bayar yang kemarin,” ujar ibu dengan nada lelah.

Olin berdecak kesal. Sebelum sempat menjawab, suaminya sudah lebih dulu menyela dari belakang. “Iya, Bu. Dilunasi aja dulu satu per satu, daripada nanti numpuk dan malah makin susah dibayar.”

Olin menatap suaminya tajam. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—kesal, marah, atau mungkin kecewa. Kenapa harus terus menekan ibu? Seakan-akan yang dimintanya adalah utang yang harus segera dilunasi, bukan sekadar bantuan keluarga.

Nachia yang sedari tadi hanya mengamati percakapan mereka akhirnya bersuara. Dia melirik tumpukan barang di sudut ruangan, lalu menarik napas pelan. “Jadi… semua ini cukup untuk berapa lama?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.

Mereka hanya membawa barang-barang yang benar-benar diperlukan—beberapa set pakaian yang masih layak, serta buku-buku pelajaran Nachia dan Alya. Selebihnya mereka tinggalkan begitu saja.

"Ini kuncinya, silakan dibuka dulu ya, sayang." Ibu mengeluarkan kunci dari sakunya, bentuknya sedikit asing dan sudah tampak usang.

"Ini model kunci tahun berapa, sih?" Nachia mengerutkan kening, menatap benda itu dengan ragu.

Lihat selengkapnya