Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #3

Lingkungan Asing

Olin membiayai kepindahan sekolah Nachia dan Alya dengan membayar 30 juta rupiah. Di sekolah negeri, masuk tanpa harus mengulang dari awal bukanlah hal yang gratis—ada biaya 'tak resmi' yang ditentukan oleh pihak penerima. Tentu saja praktik ini tak boleh diketahui publik. Meski begitu semua orang tahu bahwa ini sudah menjadi 'rahasia umum' yang terus berlangsung.

Nachia kini duduk di kelas 12. Kebetulan tahun ajaran baru telah dimulai, sementara untuk Alya hanya biaya uang gedung yang dibayarkan. Karena terlambat mendaftar, dia seharusnya tidak bisa diterima. Namun ada jalan lain—dengan membayar 'uang pelicin' sebesar sepuluh juta rupiah. Meski fasilitas sekolah ini jauh dari layak, biaya sebesar itu tetap terasa memberatkan. Tapi tak ada pilihan lain jika mereka ingin bersekolah tanpa harus menempuh perjalanan yang terlalu jauh.

Mereka berdua berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Namun Alya sudah lebih dulu masuk sejak tiga hari yang lalu karena harus mengikuti masa orientasi. Sepanjang jalan Alya menceritakan kepada Nachia tentang kondisi sekolah barunya.

"Kak, kamu tahu nggak sih? Toilet di sekolah baru kita kotor banget! Sumpah aku sampai muntah pas pertama kali masuk—"

"Udah, udah! Jangan lanjut, jangan bikin aku jijik juga. Daripada ngerusak mood aku buat sekolah hari ini, mending diem aja."

Alya tertawa melihat ekspresi jijik di wajah Nachia. Mereka berjalan melewati deretan rumah dengan jemuran pakaian yang bergelantungan di tali, melayang di atas parit hitam pekat. Nachia menutup hidungnya rapat-rapat, tidak tahan dengan bau comberan yang menusuk. Pikirannya tak habis-habisnya bertanya, bagaimana bisa orang-orang menjemur pakaian di atas genangan air kotor yang aromanya begitu menyengat?

Setelah berjalan kaki selama setengah jam, akhirnya mereka sampai di sekolah. Bangunan tiga lantai itu berdiri dengan sederhana, membentuk huruf U yang mengapit halaman tengah. Alya menoleh ke Nachia sebelum berpisah.

"Aku duluan ya, Kak. Nanti kalau sudah pulang, mampir aja ke kelasku. Atau kalau mau pulang duluan juga nggak apa-apa."

Nachia mengangguk sebelum memeluk Alya sebentar sebagai tanda perpisahan. Setelah itu, dia mulai berjalan menuju lantai tiga, menaiki tangga yang terasa begitu melelahkan. Nafasnya tersengal-sengal di setiap anak tangga yang dilaluinya. Tepat ketika dia hampir mencapai lantai atas, tiba-tiba seorang murid menyeruduknya dari belakang membuatnya nyaris tersungkur.

"Ih!!" erang Nachia, kesal.

"Eh, sorry, gue buru-buru banget!" ujar anak itu sambil terus berlari menuju kelas tanpa menoleh.

Nachia mendengus kesal. "Dasar anak-anak negeri, nggak tahu etika," gumamnya, merasa jengkel karena orang itu pergi begitu saja tanpa benar-benar meminta maaf.

Kemudian dia bangkit dan mencari-cari kelas dengan tulisan MIPA-XII 3. Ternyata letaknya berada di sudut koridor utama. Dengan perlahan dia mengetuk pintu dan memperhatikan bahwa di dalam kelas sudah ada seorang guru yang sedang berdiri.

"Permisi, Pak. Maaf, saya murid pindahan yang baru beberapa hari lalu daftar," ujar Nachia dengan sopan.

Seorang laki-laki paruh baya yang tadi sedang menjelaskan materi kini menoleh ke arah Nachia.

"Oh, iya. Silakan masuk, Nak," jawabnya ramah.

Nachia melangkah dengan ragu-ragu. Ada rasa malu yang menyelimutinya sebagai siswa baru di sekolah dengan lingkungan yang masih asing. Sebagai bentuk kesopanan, dia menjabat tangan sang guru. 

"Silakan perkenalkan dirimu kepada teman-teman," ujar guru itu.

Nachia mengangguk. "Perkenalkan nama saya Nachia Kirana. Saya pindahan dari SMAK Bina Kusuma. Saya pindah ke sini karena keluarga saya baru saja membeli rumah yang cukup dekat dengan sekolah ini."

Tak ada yang peduli. Di sudut kelas, sekelompok siswa tampak asyik mengobrol, suaranya samar-samar terdengar.

"Boleh minta hatinya nggak?"

Sekejap, seluruh mata tertuju padanya.

"Ah, modus lu kalau ada cewek cakep!"

Lihat selengkapnya