Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #4

Anak Basket

"Sekolah ini bentuknya kayak huruf U, ngelilingin lapangan di tengah," ucap Onil sembari menyandarkan siku di pagar koridor lantai dua. "Kayak jebakan Batman, mau nggak mau semua aktivitas pasti arahnya ke situ."

"Catnya udah pada pudar," timpal Adel yang menunjuk sudut gedung dengan dagunya. "Kalau hujan lu bakal lihat warnanya makin suram, kayak rumah hantu yang kelamaan ditinggalin."

"Jendelanya tuh berjajar rapi," lanjut Onil melirik ke barisan jendela di seberang. "Tapi ada aja yang kebuka sendiri tiap kali ada angin. Kadang gue mikir, itu angin beneran atau hantu yang bosen dengerin guru ceramah?"

"Lapangan di tengah itu multifungsi," kata Adel menyilangkan tangan. "Buat basket, buat futsal, sama buat tempat murid nyungsep kalau kejar-kejaran."

Onil terkekeh. "Ring basketnya udah berkarat, netnya bolong di sana-sini. Jadi kalau lu nge-shoot, ada kemungkinan bolanya nyangkut... terus mendadak jadi sarang burung."

"Tapi kalau siang-siang jangan harap betah di situ," tambah Adel. "Panasnya bukan main kayak wajan jalanan. Bisa-bisa otak lu mateng sebelum ujian."

"Kalau hujan malah lebih parah," Onil menggeleng. "Air ngumpul di beberapa titik, bukan lapangan lagi, tapi kolam renang."

"Dari lantai tiga, lapangan ini kelihatan kayak pusat semesta sekolah," kata Adel sembari menyilangkan tangan. "Di situ tempat upacara tiap Senin, tempat anak-anak bolos ketahuan, sama tempat guru ngamuk pas ada yang ketahuan kabur pas jam pelajaran."

"Intinya," Onil mengangkat dagu, "lu belum sah jadi anak sini kalau belum nyium tanah di lapangan itu."

Nachia mengangguk-angguk pura-pura menyimak. "Terus kalo soal crush-nya Onil gimana?"

Onil tertawa keras. "Jadi tiap mau Februari, di sini ada yang namanya Universitas Day. Kampus-kampus bagus pada dateng, termasuk alumni-alumni yang udah sukses. Nah waktu itu gue ketemu kakak-kakak dari UI. Gilak, anjir! Cakep banget!"

Adel menyeringai. "Kalo lu ikut acara itu, gue yakin malah kakak-kakaknya yang naksir lu, Nachia. Secara cantik lu tuh unreal parah."

Nachia tersenyum canggung. "Ah, kalian juga cantik. Aku biasa aja kok... Lagian aku juga nggak terlalu jago ngobrol sama cowok."

"Jangan bilang lu belum pernah pacaran?!" Adel membelalakkan mata.

"Emang harus ya?" Nachia mengangkat bahu.

"Nachia! Serius deh, lu nggak pernah suka sama cowok sama sekali?"

"Ya kan nggak semua rasa suka harus jadi pacaran. Buat aku lebih seru sekadar mengagumi aja." Nachia tersenyum kecil. "Kadang malah takut kalo dia tahu. Bisa-bisa dia malah ilfil."

Adel dan Onil saling pandang sebelum akhirnya Adel berseru, "Anjir bijak juga nih bocah."

Nachia tertawa kecil melihat ekspresi mereka. Tanpa banyak bicara, mereka bertiga melanjutkan langkah, menuruni tangga menuju lantai pertama. Bagian ini terletak di belakang gedung utama, sedikit terpisah dari area lain. Gedung ini khusus digunakan untuk kelas X dan sanggar ekstrakurikuler.

Kelas-kelas MIPA dan IPS berdiri berhadapan. Dari tampilan luarnya kelas MIPA terlihat lebih rapi dibandingkan dengan kelas IPS, yang dindingnya dipenuhi coretan di beberapa sudut. Tak jauh dari sana, terdapat toilet yang sempat disebut oleh Alya.

"KAK!!"

Nachia langsung menoleh begitu mendengar suara yang sangat dikenalnya.

"Del! Del! Ini bocah yang waktu MPLS digodain abang-abangan. Gila, dia nyapa kita, anjir!"

"Eh, iya! Gue baru inget, ini kan bocah kelas sepuluh yang cakep itu. Tapi kayaknya agak pick me ya kalau kata gue."

Nachia hanya tertawa mendengar gumaman kedua teman barunya. Tiba-tiba Alya berlari ke arahnya dan langsung memeluknya erat. Pelukan itu berlangsung lama, seolah mereka sudah lama tidak bertemu, sementara Adel dan Onil hanya saling pandang karena kebingungan.

Nachia tersenyum dan memperkenalkan sosok yang masih memeluknya erat. "Ini adik aku, namanya Alya."

"WHAT THE–"

"Kakak-beradik sama-sama cakep ternyata. Pantesan gue pikir dari tadi, ini bocah dari mana? Soalnya di sini mana ada yang bentukannya begini. Lah ini malah cakepnya unreal. Eh ternyata anak Menteng juga. Ya pantes sih. Kakaknya aja Nona Nachia."

Nachia tersipu malu. "Sejak kapan sih, ada embel-embel 'Nona' buat aku?"

"Sejak Nona nggak tahu es cekek," goda Adel.

Nachia tertawa lagi. "Eh, iya. Kenalin nih, kakak-kakak."

"Halo nama saya Alya, Kak," sahut Alya dengan ramah.

Adel tertawa lagi. "Buset kakaknya formal, adiknya juga. Emang didikan anak Menteng beda, keren banget."

"Iya lagi," ucap Onil. "Yaudah, yuk pulang. Udah sore juga."

***

Nachia merebahkan badannya setelah makan malam. Tidak ada yang dilakukannya lagi selain mengerjakan tugas. Sayangnya tugas itu sudah benar-benar selesai. Waktu juga sudah sangat larut malam. Kakinya diangkat ke kasur Alya.

"Al, nggak betah ya di sini," ungkap Nachia dengan nada sedih.

Lihat selengkapnya