Hari Minggu biasanya menjadi hari penuh kedamaian. Dulu Nachia dan keluarganya selalu menyempatkan diri untuk berlibur. Tapi itu dulu—sebelum semuanya berubah.
Nachia duduk di kursi kayu di luar kamarnya, menghadap pintu kamar ibu yang tertutup rapat. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, perasaan tidak nyaman yang enggan pergi. Rumah ini masih sama, tetap dipenuhi suara televisi dan percakapan samar dari ruang tengah. Tapi baginya, semuanya terasa kosong. Dia dikelilingi oleh suara, tetapi tetap merasa sendirian.
Ibu keluar dari kamarnya dengan beberapa helai pakaian di tangannya. Dia menyerahkannya kepada Alya tanpa banyak bicara. "Ini baju-baju bekas Olin. Masih bagus, masih muat buat kamu," katanya singkat.
Nachia yang duduk tak jauh dari mereka menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya membuka suara. "Bu, aku izin main ke rumah teman, ya?"
Ibu menoleh sekilas. "Temanmu nggak sibuk?"
"Nggak, kok. Kita udah janjian dari tadi," jawab Nachia cepat.
Ibu menghela napas pendek. "Ya sudah. Jangan pulang malam-malam."
Nachia menatap ibu sejenak, lalu memberanikan diri bertanya, "Aku boleh minta uang buat naik angkutan umum?"
Ibu langsung menjawab tanpa berpikir lama, "Nggak. Jalan aja. Lebih sehat."
Nachia terdiam. Tidak ada ruang untuk berdebat.
Nachia menelan ludah. Tabungannya benar-benar sudah habis—terkuras sedikit demi sedikit untuk menutupi uang jajan yang selalu kurang. Ibu memang masih memberi, tapi jumlahnya tidak pernah cukup bahkan sekadar untuk membeli makanan di warung. Selama tiga bulan terakhir, Nachia bertahan hanya dengan sisa tabungan yang kini telah lenyap sepenuhnya.
Nachia kembali naik angkot, mengandalkan sisa uang yang kian menipis. Dengan langkah setengah tergesa, dia merapatkan tubuh di antara penumpang lain, duduk di bangku panjang yang empuknya sudah tinggal kenangan. Udara di dalam terasa berat—perpaduan bensin, keringat, dan aroma plastik dari kantong belanja seorang ibu di sudut. Dia menarik napas pendek, sudah terbiasa dengan bau-bauan khas perjalanan di Jakarta.
Di luar, jalanan macet. Barisan mobil dan motor mengular, klakson bersahutan. Asap kendaraan mengepul di udara, bercampur debu yang terangkat dari jalanan yang sudah retak di sana-sini. Matahari yang menyorot panas siang hari membuat aspal berkilat, memantulkan bayangan kendaraan yang bergerak lambat.
Saat angkot berhenti di perempatan, angin yang berhembus membawa aroma sungai di dekatnya—bau air yang keruh, sampah yang menggenang, dan lumpur yang mengendap di dasar. Dulu Nachia selalu menutup hidung saat melewati daerah ini, tapi kini dia hanya menghela napas. Hidungnya sudah terbiasa mengenali kota ini apa adanya, dengan segala bau yang menempel pada udara dan pakaian.
Seorang penjual asongan mengetuk kaca, menawarkan tisu dan permen dengan suara nyaring. Di trotoar, pejalan kaki berjalan cepat, sebagian menutupi wajah dengan masker atau lengan baju, menghindari debu yang beterbangan saat bus tua melintas dengan derit mesin berat.
Di dalam angkot, si sopir mengomel pelan, tangannya menepuk-nepuk setir, kesal karena lampu merah terasa lebih lama dari biasanya. Nachia melirik arlojinya. Waktu terus bergerak, Jakarta tetap riuh, tetap berdebu, tetap macet. Dan dia seperti orang-orang lain di dalam angkot ini, hanya bisa pasrah mengikuti arusnya.
Setelah drama yang berkepanjangan, Nachia akhirnya tiba di rumah Onil. Rumah itu terletak di sebuah gang sempit di kawasan Kampung Bali, sebuah permukiman padat penduduk yang hanya berjarak beberapa kilometer dari hiruk-pikuk Tanah Abang. Meski dekat dengan pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara, kawasan ini menyimpan kontras yang mencolok dengan gemerlapnya gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
Gang menuju rumah Onil hanya selebar dua meter, cukup untuk dilalui pejalan kaki atau sepeda motor. Dinding-dinding rumah saling berdempetan, sebagian besar terbuat dari kayu lapuk dan seng berkarat. Beberapa rumah mencoba menutupi kerusakan dengan poster-poster lama atau spanduk bekas, menciptakan mozaik warna-warni yang pudar oleh waktu.
Di depan rumah-rumah, jemuran pakaian menggantung rendah, hampir menyentuh kepala siapa pun yang lewat. Baju-baju yang sudah memudar warnanya, celana panjang, dan handuk lusuh berayun pelan tertiup angin. Bau deterjen murah bercampur dengan aroma masakan yang menguar dari dapur-dapur sempit, menciptakan perpaduan aroma yang khas.