Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #7

Basket

Lapangan basket dipenuhi gema suara sepatu yang berdecit dan bola yang memantul ritmis di lantai kayu. Kevin menggiring bola dengan kecepatan yang sulit diikuti lawan, tubuhnya lincah meliuk melewati pertahanan.

Dengan satu gerakan crossover, dia mengecoh pemain bertahan di depannya. Kaki kirinya menjejak keras, lalu dengan cepat berputar ke kanan, melewati celah sempit di antara dua pemain lawan. Dribble-nya rendah, terkontrol, sebelum dia melakukan spin move, memutar tubuhnya 180 derajat dan kembali menguasai bola dengan sempurna.

Penonton bersorak. Lawan mulai mengantisipasi gerakannya, tapi Kevin sudah membaca situasi. Dia mundur beberapa langkah, menatap ring, lalu—dengan satu tarikan napas—melompat.

Long shot dari luar garis three point.

Bola melayang di udara, berputar sempurna. Seisi lapangan terdiam. Mata semua orang mengikuti lintasannya. Waktu seolah melambat saat bola semakin dekat ke ring.

"SWOOSH!"

Tanpa menyentuh tepi ring, bola masuk mulus.

Kerumunan meledak dalam sorakan.

"KEVIN! KEVIN! KEVIN!"

Dia hanya mengangkat tangan, ekspresi tenang, tetapi dadanya bergemuruh. Adrenalin mengalir deras dalam nadinya, sementara rekan-rekan setimnya berlari menghampiri, menepuk pundaknya.

Nachia berdiri di tepi balkon lantai tiga, kedua tangannya bersandar ringan pada pagar besi yang dingin. Dari atas sini, dia bisa melihat segalanya dengan jelas—lapangan, orang-orang, dan sosok yang sedang menjadi pusat perhatian.

Matanya mengikuti pergerakan Kevin, yang baru saja melesatkan tembakan. Waktu terasa melambat saat bola itu melayang, melintasi udara dengan putaran sempurna, sebelum akhirnya menembus jaring tanpa menyentuh ring.

Namun Nachia hanya diam. Bibirnya sedikit tertarik ke atas, membentuk senyum kecil yang nyaris tak terlihat.

Angin sore mengibaskan ujung rambutnya, membuat bayangan wajahnya bergerak samar di kaca jendela di belakangnya. Dalam sorot matanya, ada sesuatu yang sulit ditebak—mungkin kekaguman, mungkin sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari Kevin yang dikerumuni rekan-rekannya, Nachia menghela napas perlahan.

Lalu senyumnya menghilang, seperti tak pernah ada.

Nachia melangkah masuk ke dalam kelas dengan tenang. Suasana ruangan masih sepi, hanya beberapa siswa yang sudah datang lebih dulu, sibuk dengan buku dan ponsel mereka. Dia berjalan menuju bangkunya di dekat jendela, meletakkan tas di atas meja, lalu menarik kursi dan duduk perlahan.

Tangan kanannya bergerak membuka resleting tas. Dia merogoh bagian dalam, berniat mengambil buku catatan, tapi jari-jarinya justru menyentuh sesuatu yang asing—selembar kertas yang terlipat rapi.

Keningnya berkerut. Ini bukan miliknya.

Dengan sedikit ragu, Nachia menarik kertas itu keluar, membukanya perlahan. Tulisan hitam bergores kasar memenuhi permukaannya:

"Jauhi Kevin. Atau lo akan menyesal."

Denyut dingin merayapi tengkuknya. Matanya terpaku pada kalimat itu, jari-jarinya meremas kertas tanpa sadar.

Siapa yang menulis ini? Sejak kapan ada di dalam tasnya?

Nachia menoleh sekilas ke sekeliling kelas. Tidak ada yang terlihat mencurigakan. Namun rasa tak nyaman mulai menjalar di dadanya.

Tangannya mengepal. Perlahan, dia merobek kertas itu menjadi serpihan kecil, membiarkannya jatuh ke dalam kolong meja.

Nachia hanya diam, menyaksikan semuanya terjadi di depan matanya. Pikirannya melayang entah ke mana. Sejak kejadian itu, ancaman demi ancaman datang, memaksanya menjauhi Kevin. Padahal tak satu pun dari mereka benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Lagi-lagi, surat ancaman. Dia menghela napas, suaranya lirih saat berbicara, “Aku... lagi-lagi dapat surat ancaman dari seseorang.”

Kepalanya bersandar di pundak yang kokoh, seolah mencari perlindungan di sana. Pundak milik seorang pemain basket yang, hanya beberapa hari lalu, membuat seluruh lapangan bersorak dengan tembakan jarak jauhnya. Gerakannya di lapangan begitu lincah, seakan bola dan tangannya adalah satu kesatuan yang harmonis, membuat banyak pasang mata terpesona.

Lihat selengkapnya