"Aku udah bilang ke kamu, apa pun yang menghalangi kita harus kita lawan," ucap Kevin dengan suara berat. "Jangan pernah ngerasa kita nggak layak. Kita bahkan baru mulai perjalanan ini."
"Tapi kenapa aku yang selalu kena imbasnya? Aku capek... pengin juga kayak orang-orang—bisa pacaran tanpa gangguan. Sekarang saat aku akhirnya ngerasain itu, gangguan malah terus datang tiba-tiba seolah nggak pernah mau pergi."
"Ini cuma sebentar, kok. Nanti kita perbaiki, ya?"
Nachia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan. Tapi dari tatapan matanya, Kevin tahu bahwa gadis itu mempercayainya.
Setelah Nachia mulai tenang, mereka memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing. Namun suasana hati yang masih keruh membuat guru menyarankan agar Adel dan Nachia dipulangkan lebih awal.
Nachia melangkah pulang dengan lesu, hanya ditemani suara langkah kakinya sendiri. Langit yang menggelap pelan-pelan memaksanya mempercepat langkah. Jalanan yang biasanya riuh oleh para orang tua yang berebut menjemput anaknya kini tampak lengang—karena jam pulang sekolah memang belum tiba. Kesunyian itu seolah ikut menyelimuti pikirannya yang masih berat.
Guntur terus menggeram di langit, dan petir berkali-kali menyayat gelap dengan kilatan cahaya. Tak butuh waktu lama hingga hujan deras mengguyur bumi. Nachia bergegas mencari tempat berteduh. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah bangunan mangkrak—tampaknya calon kantor yang tak pernah selesai dibangun. Hanya itu satu-satunya tempat bernaung yang bisa dia capai. Jaraknya cukup jauh dari keramaian dan bangunan lainnya, membuatnya berteduh seorang diri, ditemani gemuruh dan suara rintik yang memukul tanah.
Nachia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa titik bocor di atap membuat lantai bangunan itu digenangi air, menimbulkan kilau pucat di permukaannya. Dia berdiri diam selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan dan gemuruh jauh di atas. Lalu sosok lain muncul—seorang laki-laki dengan kemeja hitam, celana hitam, dan sepatu Geoff Max yang tampak sudah teruji hujan. Awalnya, kehadirannya tampak biasa saja. Tapi perlahan, tatapannya mulai terpaku pada Nachia. Dia mengamatinya tanpa berkedip.
Sebuah kecemasan mulai tumbuh di lubuk hati Nachia. Hujan yang kian menggila membuatnya tak mungkin pulang—bukunya bisa basah, rusak, dan percuma saja dia melindunginya dengan tas. Dia memilih menunggu hingga hujan mereda, meski perasaan tak nyaman semakin merayap. Nalurinya mendorong untuk waspada, jadi dia kembali mengedarkan pandangan ke sekitar. Orang itu—yang tadi berdiri tak jauh darinya—telah menghilang. Padahal barusan saja dia masih di sana. Hanya dalam hitungan detik, sosok itu lenyap dari pandangan.
Refleks Nachia menoleh ke segala arah. Matanya panik menyapu setiap sudut ruangan kosong itu. Tapi baru saja dia berbalik ke belakang—sebuah tangan dingin mencengkeram pergelangan kirinya dengan kuat. Dia terperanjat. Lelaki itu kini berdiri tepat di sampingnya.
"Ah, sakit, Pak! Maaf, ini ada apa ya?" suara Nachia melengking tertahan, tubuhnya menegang.
"Kamu ikut saya saja!" bentaknya, nadanya tinggi dan memaksa.
Untuk pertama kalinya, Nachia bisa melihat wajah pria itu dengan jelas—asing. Tidak familiar. Bukan guru, bukan staf sekolah, bahkan tak pernahnya lihat sebelum ini.
Detak jantungnya makin cepat. Instingnya memberi peringatan.
"Maaf, Pak... saya nggak bisa. Tolong jangan tarik tangan saya," katanya, suara mulai gemetar.
Laki-laki itu semakin kuat mencengkeram tangan Nachia, seolah tak memberi ruang sedikit pun untuk lepas. Tenaganya dilepaskan sepenuhnya, membuat tubuh Nachia tak kuasa melawan. Perbedaan kekuatan fisik di antara mereka terlalu mencolok.
Nachia mulai terseret, dipaksa menaiki tangga menuju lantai atas bangunan yang kosong. Dia mencoba memberontak, tapi sia-sia. Saat kakinya membentur anak tangga yang retak, dia terjatuh.
Sebuah rasa nyeri tajam menjalar dari pergelangan kakinya—terkilir. Napasnya tercekat, tubuhnya gemetar dalam kepanikan.
"Tolong! Tolong!" teriak Nachia panik.