Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #9

Kepergian

DUK!DUK!DUK!

Suara ketukan menggema keras dari balik pintu.

"Kak, kenapa sih kunci dari dalam?" teriak Alya.

Tak ada jawaban.

Alya menunggu. Di dalam, Nachia terbaring diam, menatap langit-langit dengan mata basah. Dia tahu adiknya ada di luar. Tapi tubuhnya terlalu berat untuk bangkit, dan hatinya terlalu retak untuk menjawab.

"KAK!!"

Alya mulai berteriak, suaranya makin kencang, memaksa kakaknya membuka pintu.

Nachia mendesah pelan. Dengan wajah kusut dan tubuh yang nyeri, ia bangkit perlahan dari tempat tidur.

Begitu pintu terbuka, Alya langsung menyerobot masuk tanpa menunggu.

"Lu lagi ngapain sih?" tanya Alya.

"Aku lagi capek. Rebahan, males banget bangun," jawab Nachia tanpa menoleh.

Alya mendengus. "Lagian, ngapain juga sih dikunci?" Dia diam sebentar, lalu menatap wajah kakaknya lebih saksama. "Lu nangis, ya?"

Nachia tetap diam. Dia membalikkan badan dan menarik selimut hingga ke wajahnya.

Alya menatapnya sekilas, matanya datar. "Terserah, deh," gumamnya pelan sebelum berbalik dan menutup pintu.

"Gue tau, Kak. Tadi di sekolah ada rame-rame—berantem antara lo sama Kak Adel. Beritanya nyebar cepet banget," kata Alya.

"Emang apa lagi sih yang diomongin orang-orang tentang aku?!" bentak Nachia.

"Kok lo malah teriak ke gue?" sahut Alya, sambil mendorong pundak kakaknya.

Nachia menatapnya tajam. "Kamu belajar dari siapa sih jadi kayak gini? Dulu tuh kamu sopan banget. Sekarang malah kurang ajar sama aku."

Alya menyeringai. "Jangan katro, Kak. Itu makanya lo dibully. Hidup lo isinya cuma belajar, belajar, belajar. Bosenin banget. Mending kayak gue—asik, jadi gak ada yang ngeledekin. Cupu banget sih, kutu buku."

Plak!

Tamparan itu melayang begitu cepat hingga terdengar suara pecah kecil di udara sebelum mengenai pipi Alya. Gadis itu terdiam sesaat, matanya membelalak—tak percaya kakaknya benar-benar melakukannya. Tapi diam itu tak bertahan lama. Tangannya terangkat, mencengkeram rambut Nachia, menarik dengan penuh amarah. Teriakan meledak, tubuh mereka saling mendorong, menjambak, mencakar. Suara gaduh membelah keheningan rumah, dan detik berikutnya, pintu didobrak terbuka. Ibu berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal dan mata membelalak ngeri.

Lihat selengkapnya