Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #10

Awal Sunyi

"Aku udah lama nggak di rumah. Nggak nyangka kalau selama ini kamu nyimpen semuanya sendirian. Dulu ibu selalu peduli sama kita bertiga, nggak pernah ngebandingin satu sama lain. Tapi sejak ayah pergi... ibu berubah. Nggak kayak dulu lagi, ya?"

Nachia hanya menunduk mendengar penjelasan Olin. Ada sedikit rasa lega karena dia berhasil sampai ke rumah ini tanpa ketahuan. Tapi kekhawatiran sebenarnya justru baru dimulai—ibu akan segera datang ke sini.

"Aku harus gimana kalau ibu datang nanti?" tanya Nachia, suaranya lirih dan penuh kecemasan.

Olin terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tak menyakiti. "Kamu masih mau tinggal bareng mereka?"

Nachia menggeleng pelan. Rasa malu terhadap teman-teman di sekolah, kekecewaan pada ibu, dan luka akibat sikap Alya—semuanya menumpuk dan menyesakkan. Itu sebabnya dia memilih tinggal bersama Olin. Keputusannya sudah bulat. Olin pun tak keberatan; dia sudah menyatakan kesiapannya menampung Nachia sementara suaminya sedang dinas keluar kota selama beberapa bulan.

"Aku ingin di sini saja. Kakak keberatan nggak?"

"Nggak kok. Nanti biar aku yang ngomong sama suamiku, ya."

"Memangnya boleh?"

"Dia juga jarang di rumah. Lagian, kamu bisa jadi alasanku biar nggak kesepian."

Nachia tersenyum tipis pada Olin, merasa sedikit lega karena akhirnya memiliki tempat untuk pulang—meski bukan rumahnya sendiri. Tapi kedamaian itu tak bertahan lama. Ketukan terdengar dari arah pintu, cepat dan tegas. Olin bangkit untuk membukanya, dan Nachia tahu siapa yang akan berdiri di ambang sana. Ibu dan Alya. Perjalanan dari rumah ke sini hanya memakan waktu dua jam, cukup untuk kemarahan mereka mengejar lebih dulu dari logika. Saat pintu dibuka, wajah ibu menegang, sorot matanya tajam. Nachia yang semula berdiri di belakang Olin, sontak mundur setapak.

"Maksudnya apa kamu kabur dari rumah?!" suara ibu melengking begitu pintu terbuka.

"Ibu, kita masuk dulu, ya?" Olin cepat memotong, mencoba meredakan ketegangan yang langsung meledak. "Lebih baik dibicarakan di dalam, pelan-pelan."

Ibu menerobos masuk, menyenggol pundak Olin dengan keras. Sepersekian detik Olin terdiam—terkejut oleh sikap ibu yang baru pertama kalinya begitu kasar, setega itu sejak dia dilahirkan.

Langkah ibu semakin mendekat, sementara Nachia perlahan mundur hingga terpojok. Tak ada jalan lagi, akhirnya dia membuka mulut. "Kenapa ibu jadi seperti ini?"

"Justru aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamu jadi seperti ini? Kalau kamu merasa aku berubah dan tidak peduli, lihat dulu dirimu. Sejak pindah, kamu nyaris tak pernah bicara dengan kami. Dan sekarang, kamu bahkan berani melakukan hal kotor seperti berpelukan."

"Aku cuma berpelukan karena aku kangen sama Ayah!" teriak Nachia, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kamu itu nggak mungkin rindu sama Ayah lewat pelukan kayak gitu. Jelas-jelas kamu keliatan napsu sama cowok itu. Jangan samakan dengan Ayah, apalagi bilang itu buat ngelampiasin rindu."

Lihat selengkapnya