Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #11

Jalan Baru

Pagi itu cahaya matahari menembus tirai jendela dan menyapu kamar Olin dengan kehangatan lembut yang mengusir sisa kantuk. Usai sarapan sederhana, Olin mengajak Nachia pergi ke pusat perbelanjaan. Di dalam mal, mereka berjalan beriringan, menelusuri lorong-lorong toko pakaian yang dipenuhi warna dan cahaya. Olin dengan sabar membantu Nachia memilih blus dan rok yang cocok, sambil sesekali menggoda pilihan adiknya yang menurutnya terlalu "remaja." Tawa kecil Nachia pun pecah, ringan dan jujur, seolah hari itu tak menyimpan beban apa pun.

"Dulu waktu Ayah masih bebas, kita sering ke toko kayak gini, ya," ucap Nachia lirih, matanya tak lepas dari pantulan dirinya di cermin ruang ganti.

"Iya, dan waktu itu kita ngambek cuma gara-gara rebutan warna baju," sahut Olin, tersenyum kecil sambil menepuk bahu adiknya.

Mereka membeli beberapa pakaian baru—bukan semata untuk tampilan, tapi seolah ingin menciptakan lapisan identitas yang baru, sesuatu yang lebih kuat dari luka-luka yang diam-diam mereka pikul.

Usai berbelanja, mereka naik ke lantai atas dan masuk ke bioskop. Film keluarga yang mereka pilih membawa suasana haru; dalam gelapnya ruangan, Nachia terisak pelan saat adegan ayah dan anak berpelukan muncul di layar. Olin yang sejak awal duduk diam, menggenggam tangan adiknya tanpa berkata apa-apa.

"Kamu masih sering mimpiin Ayah?" bisik Olin, nyaris tak terdengar.

"Iya," angguk Nachia. "Terakhir mimpi, Ayah narik selimutku waktu aku demam. Kayak pas aku kelas tiga SMP."

"Kadang aku iri sama masa itu. Sebelum aku nikah. Hidup belum seribet sekarang," gumam Olin, nyaris tak terdengar.

"Kamu masih pengin balik ke masa itu?"

"Nggak bisa balik. Tapi rindu itu… kadang nyakitin kalau cuma dipendem."

Menjelang sore, mereka berjalan santai di Kebun Raya Bogor. Langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak berbatu, diapit pepohonan tinggi dan aroma tanah basah yang menguar setelah hujan semalam. Dalam keheningan yang nyaman, Olin tiba-tiba berkata, "Kamu inget nggak dulu Ayah suka main sulap kecil buat kita? Koin tiba-tiba keluar dari belakang telinga?"

"Aku selalu pura-pura kaget, biar dia senang," balas Nachia, tertawa pelan.

Mereka duduk di bangku kayu dekat kolam teratai. Angin sore membelai rambut mereka, sementara daun-daun jatuh perlahan di sekeliling.

"Dulu aku pikir rumah kita kecil," kata Nachia. "Tapi sekarang malah kelihatan paling luas… karena hangat."

Olin mengangguk pelan, menatap air kolam yang bergelombang ringan.

Tak ada kalimat panjang, hanya kehadiran satu sama lain yang perlahan menjadi pelipur.

Saat langit mulai gelap, mereka keluar dari Kebun Raya dan berjalan menuju gerobak mie ayam di pinggir jalan. Di bawah cahaya lampu jalan yang redup dan bunyi klakson kendaraan dari kejauhan, mereka duduk di kursi plastik sambil menunggu pesanan.

"Kamu inget nggak dulu kita pernah disuruh ayah nganter mie ayam buat tetangga yang baru lahiran?" tanya Olin sambil terkekeh.

"Iya, dan kita malah makan setengahnya di jalan!" Nachia ikut tertawa.

Mie ayam datang dalam mangkuk yang penuh, panas mengepul. Sambil menyuap, Nachia berkata,

"Aku mau hidup kayak gini aja, Kak. Sederhana, tapi bareng orang yang sayang sama aku."

Olin menatapnya dalam, lalu menyuap mie-nya pelan.

"Hidup memang makin ribet setelah nikah. Tapi kamu harus tetap punya ruang buat bahagia, sekecil apapun."

Dan di tengah keramaian jalanan malam, mereka temukan ketenangan yang selama ini hilang—dalam tawa, dalam mie ayam, dalam kenangan.

Lihat selengkapnya