Di tengah hiruk pikuk aktivitas dan pencapaian yang baru saja dia raih, Nachia masih menyimpan satu keputusan penting yang belum mampu dia jawab sepenuhnya: beasiswa prestisius yang menawarinya masa depan cerah di Jakarta, dengan fasilitas dan bimbingan luar biasa, namun bersamaan dengan itu—mendorongnya untuk tinggal lebih lama di kota yang baginya terlalu bising, terlalu ramai, dan terlalu dekat dengan kenangan yang ingin ia kubur dalam-dalam; sedangkan hatinya diam-diam menginginkan Bandung, dengan suasana yang lebih tenang, udara yang lebih jujur, dan harapan akan awal yang benar-benar baru. Jauh dari keriuhan dunia lamanya.
Nachia telah menyusun ulang catatan belajarnya dan menekuni kembali sepuluh bab inti dalam matematika sebagai persiapan menghadapi seleksi lanjutan beasiswa. Dia memulainya dari dasar seperti Aritmatika dan Aljabar, lalu melangkah ke Geometri dan Trigonometri yang membutuhkan ketelitian visual. Setelah itu, dia memperdalam pemahaman Statistika dan Peluang, sebelum memasuki ranah Kalkulus yang meliputi turunan dan integral. Tak lupa, dia juga mempelajari materi tentang Matriks dan Determinan, serta Vektor yang sering muncul dalam soal-soal lanjutan. Dua bab terakhir yang dia dalami adalah Logika Matematika yang menajamkan cara berpikir analitis, dan Program Linear yang menjadi andalan dalam penerapan pemecahan masalah. Semua ini dilakukannya dengan disiplin tinggi, karena dia tahu betul—usaha yang tak pernah berhenti adalah jembatan menuju masa depan yang dia inginkan.
BRUK! BRUK!
Ketukan itu terdengar samar pada awalnya, seperti gesekan pelan di permukaan kayu. Tapi makin lama, makin keras dan tergesa, membuat Nachia terbangun dari tidurnya dengan napas pendek dan detak jantung yang melonjak tajam. Matanya memindai dinding-dinding kamar dalam gelap, jantungnya berdegup tak karuan. Masih dalam balutan selimut tipis, dia duduk, tubuhnya menegang, mendengarkan lagi.
Tok… tok… tok!
Dengan cepat dia melemparkan selimut ke samping dan berdiri. Langkahnya tertatih menghampiri pintu kamar. Tapi saat tangannya menyentuh kenop, suara itu tak terdengar berasal dari sana. Dia menyipitkan mata, mendengarkan ulang.
Itu dari luar. Dari lorong.
Perasaan curiga dan geram muncul bersamaan. Ada sesuatu yang tidak beres. Dia membuka pintu dengan hentakan, dan di balik lorong yang suram dan hanya diterangi cahaya lampu gantung kusam, dia melihat pemandangan yang membuat seluruh tubuhnya membeku.
Olin. Bersimpuh di lantai. Kepalanya dibenturkan berulang kali ke tembok oleh Ema.
Brakk!
Brakkk!
Nachia terpaku beberapa detik. Olin mengerang pelan, tubuhnya tak berdaya, hanya melindungi wajahnya dengan kedua tangan. Tapi itu tak cukup menahan kerasnya benturan yang terus dilakukan pria yang selama ini tampak pendiam—sekarang seperti monster yang mengamuk.
"Hentikan!" jerit Nachia.
Ema menoleh. "Masuk kamar. Ini bukan urusanmu!"
Tapi Nachia tak peduli. Dia berbalik lari ke dapur, napasnya memburu, langkahnya menggema. Dia membuka laci kayu dengan hentakan—tak peduli suara bising yang ditimbulkannya—dan mengeluarkan sebuah pisau dapur yang besar dan tajam. Tangannya gemetar, tapi wajahnya penuh kemarahan.
Dia kembali ke lorong.
"Lepasin dia atau—"
Belum sempat dia menyelesaikan kalimat, Ema menoleh dengan mata melotot. Tapi dia tidak mundur, tidak juga tampak gentar. "Apa kau pikir aku takut sama anak kecil kayak kamu?"
Nachia mengangkat pisaunya, berniat menusuk. Tapi sebelum ujungnya mendekat, Ema menyenggol tubuhnya keras ke samping. Nachia terpental, membentur sisi rak kecil di dekat lorong dan terjatuh ke lantai, menggeliat. Pisaunya terlepas dan bergulir entah ke mana.
Olin masih dalam posisi duduk terkulai, tubuhnya gemetar dan wajahnya berlumur darah. Dia mencoba melawan, mengangkat tangannya untuk memukul, tapi Ema hanya mendorongnya lagi hingga Olin kembali terhempas ke lantai.
Dengan sisa tenaganya, Nachia bangkit dan berlari menubruk tubuh Ema, berusaha mendorong pria itu menjauh dari Olin. Dorongannya cukup kuat karena dilakukan dalam kepanikan dan kemarahan. Ema terhuyung mundur. Tapi tanpa disadari, Nachia mendekat terlalu cepat—dan dalam gerakan refleks yang tak dia lihat—Ema sudah lebih dulu memegang pisau yang terjatuh tadi.
Crasht!
Suara tusukan tajam menghujam perutnya.
Dunia seakan terdiam. Suara dengingan menyelimuti telinga Nachia. Wajah Ema hanya sejengkal dari wajahnya. Dia bisa mencium bau alkohol yang menyengat dan peluh yang kasar dari pria itu. Sakitnya menyebar perlahan. Dinginnya logam pisau terasa membakar dan mengoyak isi perutnya.
"N—Nachiaaa!" suara Olin menjerit histeris.
Ema melepaskan pegangannya dan mendorong tubuh Nachia ke belakang. Nachia limbung, berjalan mundur tak tentu arah sebelum akhirnya menyandarkan diri di tembok lorong yang dingin. Tangannya memegangi luka yang kini mulai mengalirkan darah deras ke baju tidurnya yang putih pucat.
Ema berdiri beberapa detik, tampak bingung antara marah atau takut, sebelum akhirnya berlari keluar rumah, membanting pintu sekeras mungkin.
Olin yang melihatnya segera merangkak. Napasnya berat, tangan bergetar, tapi dia paksakan diri untuk menghampiri adiknya itu. Tubuhnya masih menggigil, luka-luka di wajah dan bahunya tak dia pedulikan.
Nachia duduk terkulai. Matanya mulai sayu. Tapi ada senyum kecil tergambar di bibirnya.
"Nachia… kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Olin dengan suara serak.
"Udah… kamu selamat aja, itu cukup," bisik Nachia, napasnya berat.
Olin menangis, menahan luka dan air mata yang tak terbendung. "Jangan ngomong gitu! Kamu bakal baik-baik aja! Aku telepon ambulans sekarang—"
Tapi Nachia hanya menggeleng pelan, dan kini tubuhnya mulai melemas. Tangan Olin mengusap darah yang mengalir deras dari sisi baju Nachia.
"Bertahan ya, Nachia… aku mohon… bertahan…"
Nachia hanya menatapnya. Matanya mulai buram. Cahaya yang semula menusuk tajam dari celah-celah jendela ruang tamu kini menjadi kabur, berpendar seperti bias air mata yang mengambang di permukaan. Nafasnya berat. Pelan. Tak beraturan. Setiap hembusan seperti upaya terakhir untuk tetap bertahan dalam kesadaran yang makin menipis. Dingin menjalar perlahan dari ujung jari, merayap ke lengan, lalu dada. Sementara darahnya terus mengalir, hangat… tetapi cepat kehilangan nyawa.
Suara tangisan Olin menggema samar—terasa jauh, seperti dari balik lorong yang tak bisa dijangkau.