Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #18

Terang

Sudah seminggu berlalu sejak tragedi itu. Ruang perawatan intensif rumah sakit masih dihuni tubuh ringkih yang terbaring tanpa gerak—Nachia. Infus menempel di punggung tangannya, selang oksigen mengalirkan udara ke paru-parunya yang tenang, dan mesin monitor jantung berdetak pelan, seperti menahan waktu agar tidak bergerak terlalu cepat.

Mata itu belum terbuka. Bibir itu belum mengucap sepatah kata pun. Dan tubuh itu belum sekali pun bergerak memberi tanda kehidupan sadar. Hari demi hari hanya dipenuhi suara mesin medis dan bisikan-bisikan doa.

Di luar ruangan, Olin duduk dengan wajah lesu, sembab karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis. Masa pendaftaran ujian bersama telah resmi ditutup dua hari lalu. Nachia tidak mendaftar. Tidak mungkin mendaftar. Hari-hari yang seharusnya penuh semangat persiapan, lembar-lembar pendaftaran, dan diskusi jurusan impian—semuanya kini lenyap. Nachia tidak ikut. Nachia tertinggal.

Adel dan Onil datang berkunjung pada hari ketiga, membawa boneka kecil yang mereka letakkan di meja samping ranjang Nachia. Wajah mereka muram, seolah sulit percaya bahwa gadis ceria yang mereka kenal kini terbaring seperti itu. Adel memeluk Olin lama sekali. Onil hanya bisa duduk diam di kursi pengunjung, menggenggam tangan Nachia meski tanpa respon.

Hari kelima, Mei datang bersama Riri, Rista, ketua kelas, dan guru fisika mereka. Guru itu terdiam lama di sisi ranjang, memandangi muridnya yang baru saja meraih prestasi untuk berjuang bersama.

"Kamu harus bangun untuk melanjutkan mimpi-mimpimu."

Mei menahan air mata. Rista biasanya lantang dan ramai, kini hanya bisa berdiri di pojok ruangan sambil menatap langit-langit, takut air mata tumpah. Riri sudah sembab karena sedari berangkat dari rumah.

Namun dari semua yang hadir, semua yang menangis dan mendoakan, hanya satu yang tak pernah datang. Hanya satu yang bahkan tak tahu apa pun. Kevin. Tidak ada yang memberitahunya, atau barangkali dia juga tidak peduli karena terlanjur sakit hati ditinggalkan begitu saja.

***

Alya masih mendekap tangan Nachia erat, dengan mata sembab dan kepala tertunduk di sisi ranjang. Tangisnya belum juga berhenti sejak pagi. Dia bertahan di sana, menjaga, berharap, berdoa. Lalu tiba-tiba, suara lirih terdengar—sebuah batuk pelan namun cukup jelas untuk menghentikan dunia sejenak. Alya sontak menegakkan tubuhnya, matanya membelalak. Dia menyaksikan sendiri, kelopak mata Nachia perlahan bergerak... lalu terbuka.

"Nachia?" bisiknya tercekat.

Bibir Nachia bergerak lemah, seolah berusaha mengatakan sesuatu. Napasnya mulai terdengar, meski masih berat.

"Alya…?" gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

"Iya, ini aku," sahut Alya cepat, air mata kembali mengalir di pipinya. "Ya Tuhan… kamu bangun juga…"

Nachia diam, mencoba mengatur napas. Tenggorokannya terasa kering, suaranya serak.

"Aku… di mana…?"

"Kamu di rumah sakit. Sudah seminggu kamu nggak sadar," jawab Alya pelan. Dia menunduk, menahan isak. "Kami semua khawatir banget…"

Nachia memandang langit-langit. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Dia menahan banyak hal di dalam dirinya.

"Kakak… dia gimana?"

"Dia selamat. Kamu yang nyelametin dia, Kak." Alya menggenggam tangannya lebih erat. "Kamu luar biasa."

Nachia memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas panjang. "Aku kira… aku bakal mati malam itu…"

Alya menggigit bibir bawahnya, lalu memeluk tangan Nachia erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

"Tapi kamu nggak. Kamu di sini sekarang. Sama aku."

Nachia tersenyum samar. Tapi kemudian wajahnya berubah murung.

"Kalau aku koma seminggu... artinya aku udah kelewatan masa pendaftaran, ya?"

Alya diam. Dia tahu pertanyaan itu akan muncul.

"Kak… aku dengar kamu sempat diterima kuliah di Jakarta?"

Lihat selengkapnya