Bagi Nachia, Jakarta bukan sekadar ibu kota yang sibuk dan gemerlap. Jakarta adalah labirin luka—setiap gang sempit dan suara klakson di kejauhan membangkitkan kenangan yang ingin dia kubur dalam-dalam. Baginya, kota itu terlalu ramai untuk kesedihan, terlalu bising untuk air mata. Di balik gemerlap mal dan gedung pencakar langit, terselip lorong-lorong sempit yang dulu jadi saksi bisu hidupnya. Bau selokan, teriakan pedagang, dan suara langkah kaki yang tergesa—semuanya adalah bagian dari fragmen masa lalu yang menyakitkan. Jakarta, baginya, bukan tempat untuk tumbuh. Dia hanya tempat untuk bertahan.
Namun seiring waktu dan jarak, Nachia mulai melihat Jakarta bukan hanya sebagai kota yang melukainya, tapi juga tempat dia bisa mulai mengubah narasinya sendiri. Dia sadar, menjauh sepenuhnya dari Jakarta bukan jawaban yang abadi. Ada kampus yang menerimanya di sana, ada kehidupan baru yang menantinya—terpisah dari bayang-bayang Kevin dan segala kekacauan yang dulu membelenggunya. Jakarta tetap menyimpan jejak luka, tapi juga membuka ruang kemungkinan. Dan mungkin, di tengah hiruk pikuk kota itu, dia bisa menulis ulang hidupnya sendiri—dengan tangannya, bukan dengan sisa trauma yang diwariskan.
Sekarang hidup di Jakarta tidak sesulit itu. Dulu pun Nachia sempat tinggal di kawasan Menteng, yang membuatnya cukup terbiasa dengan hiruk pikuk kota besar. Jakarta bukanlah tempat asing, hanya saja menyimpan terlalu banyak kenangan. Kini semua terasa lebih ringan. Dia bahkan sudah menyusun rencana untuk bertemu kembali dengan teman-teman lamanya, Onil dan Adel. Tapi untuk Kevin, Nachia sudah tak menyisakan niat sedikit pun untuk menghubunginya. Tidak karena benci, tapi karena luka lama yang terlalu dalam untuk disentuh kembali.
Hari ini adalah hari pertama masuk kelas setelah melalui serangkaian ospek yang melelahkan. Namun rasa letih itu segera terbayar oleh suasana baru yang menyenangkan. Nachia bertemu teman-teman baru yang hangat dan menarik. Dunia perkuliahan ternyata seperti yang pernah dia bayangkan—dunia di mana dia bisa menjadi versi terbaik dirinya. Sepulang kuliah, dia memutuskan untuk singgah ke sebuah perpustakaan kampus. Ada kerinduan yang tak dijelaskan—untuk menyentuh halaman buku, membaui aroma kertas tua, dan tenggelam dalam dunia-dunia fiksi dan pemikiran.
Dari deretan rak-rak tinggi, Nachia meminjam tiga buku. Dua di antaranya adalah karya Karen Armstrong, untuk memperluas pemahamannya tentang alam semesta dan konsep ketuhanan. Satunya lagi membuatnya hampir tak percaya—buku klasik The Railway Children karya Edith Nesbit, yang pertama kali terbit tahun 1905. Salah satu karya yang dulu hanya dia kenal dari kutipan-kutipan di forum daring. Karena tasnya tak cukup besar, dia memilih menenteng ketiga buku itu dengan kedua tangannya.
Sore itu Jakarta tampil indah dalam caranya yang khas. Matahari memang tak terlihat jelas, terhalang polusi dan debu langit kota. Namun keceriaan anak-anak di taman dan gemuruh suara permainan dari lapangan sederhana membuat hati Nachia hangat. Dia berjalan pelan melewati taman. Di lapangan, beberapa anak remaja bermain voli dan bola, sebagian lainnya bermain basket. Tentu saja, permainan itu membangkitkan satu kenangan yang sangat familiar—seseorang dari masa lalunya, yang juga dulu begitu lekat dengan bola basket.
Saat itu langit mulai berubah warna. Beberapa orang telah meninggalkan lapangan. Hanya tersisa satu orang yang masih asik bermain basket sendirian. Rasa penasaran membuat Nachia perlahan menghampiri, ingin tahu siapa yang begitu rajin bermain meski waktu sudah senja. Namun sebelum dia sempat mengenali sosok itu, bola basket yang meleset dari ring memantul dan menghantam arahnya. Dia tak sempat menghindar. Buku-buku yang dibawanya terjatuh, dan hidungnya terbentur bola dengan cukup keras.
"Lain kali jangan diarahkan ke saya dong bolanya," ucap Nachia kesal, menunduk meraih bukunya yang berserakan.
Langkah kaki mendekat. Dari bayangannya yang jatuh di tanah, terlihat sepasang sepatu berdiri di depannya. Suara laki-laki itu terdengar lirih tapi jelas, seperti gema dari masa lalu. "Aku udah lama nunggu kamu datang ke sini. Menarik perhatianmu ternyata nggak gampang. Di tengah keramaian, kupikir kamu akan tertarik dengan permainan basket. Tapi ternyata tidak. Makanya aku berdiri di sini cukup lama, main sendiri, berharap kamu akhirnya menoleh. Dan akhirnya kamu datang juga."
Nachia sontak menegakkan tubuhnya. Dia mengenali suara itu. Suara yang masih akrab di ingatannya, meski sudah lama tak ia dengar.
"Ngapain kamu menarik perhatianku?" tanyanya dingin.
"Aku dengar dari Alya soal kamu yang sempat koma. Katanya kamu ditikam, sampai harus operasi..."
"Iya, tapi aku udah sehat sekarang. Terus kenapa?"
"Aku cuma... selalu ingin deket kamu lagi. Tapi kamu berubah. Aku pikir kamu udah nggak mau lihat aku lagi. Tapi perlu kamu tahu, kita itu... ada di kampus yang sama."