Melankolia Pagi Ini

Sayidina Ali
Chapter #20

Kita Tidak Kembali, tapi Dia Pulang

Hari-hari berikutnya bagi Nachia dan Kevin menjadi serangkaian momen yang tak pernah mereka bayangkan akan terulang. Kehidupan kampus terasa begitu hangat sejak pertemuan kembali itu. Di kelas, mereka duduk bersebelahan, saling mencoret-coret catatan satu sama lain ketika dosen menjelaskan. Tawa kecil yang hanya mereka mengerti menjadi jeda manis di sela penatnya jadwal kuliah.

Setiap usai kelas, mereka punya kebiasaan baru: menonton film di bioskop kecil dekat kampus. Tidak perlu film besar atau terkenal, yang penting mereka bersama. Kadang filmnya membosankan, tapi pelukan Kevin di bangku teater cukup membuat Nachia merasa aman. Setelahnya, mereka sering berjalan kaki ke warung mie ayam langganan dekat stasiun. Mie ayamnya biasa saja, tapi kuahnya yang asin dan gurih selalu jadi alasan untuk datang kembali.

Malam-malam minggu mereka dihabiskan di taman-taman kota Jakarta. Mereka berkeliling Taman Menteng, duduk di kursi besi sambil berbagi es krim dan cerita-cerita masa kecil. Di Taman Suropati, Kevin pernah memainkan lagu dari ponselnya sambil mereka menari pelan di bawah cahaya lampu taman. Jakarta, yang biasanya terasa padat dan penuh polusi, jadi tempat paling romantis ketika mereka saling genggam tangan dan menertawakan hidup.

Suatu akhir pekan, Kevin mengajak Nachia ke Kepulauan Seribu. Mereka memilih Pulau Tidung karena ingin menyepi sejenak dari hiruk pikuk. Naik kapal dari Muara Angke, tangan Nachia menggenggam erat lengan Kevin setiap kali ombak menghantam lambung kapal. Di pulau, mereka bersepeda berdua melewati jembatan cinta, bersandar di pasir putih, dan berenang di air laut yang sebening kaca. Malam harinya, mereka tidur di penginapan kayu kecil yang menghadap laut. Angin laut masuk dari jendela terbuka, membawa suara debur ombak seperti pengantar tidur.

Di akhir liburan itu, mereka secara tak sengaja bertemu dengan Olin dan Alya yang ternyata juga sedang liburan bersama. Empat sahabat lama itu akhirnya duduk di warung makan tepi pantai, mengenang masa SMA yang penuh kenangan, sambil tertawa dan membagi kisah cinta yang kini telah berubah bentuk. Alya memeluk Nachia lama, mengatakan bahwa dia bahagia akhirnya Nachia bisa kembali tertawa lepas.

Hari-hari mereka berdua penuh dengan momen mesra yang sederhana tapi dalam. Kadang Kevin akan menyelipkan surat kecil di dalam buku kuliah Nachia, dengan kalimat seperti "Kamu bikin hari ini jadi nggak biasa." Kadang Nachia diam-diam datang ke kampus hanya untuk memberi Kevin bekal makan siang buatan sendiri. Pernah suatu malam, hujan turun deras dan listrik mati di indekos Kevin. Nachia datang membawa lilin, dan mereka menghabiskan malam itu di bawah cahaya redup, memainkan gitar, menyanyi, dan tertawa seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Saat memasuki masa akhir kuliah, mereka mulai mengerjakan skripsi bersama. Setiap pagi mereka ke perpustakaan, berbagi referensi, saling menyemangati. Mereka sempat stres, berdebat soal metode penelitian, hingga tertawa melihat ekspresi wajah masing-masing yang kusut dan berminyak. Tapi mereka terus bersama. Ketika satu di antara mereka hampir menyerah, yang lain menjadi sandaran. Hingga akhirnya, skripsi mereka selesai. Bersama-sama mereka mengantar berkas ke ruang dosen pembimbing sambil tertawa lega.

Hari kelulusan pun tiba. Gedung auditorium penuh sesak, bunga-bunga dan balon warna-warni memenuhi halaman luar. Nachia mengenakan toga dengan senyum yang tak pernah hilang sejak pagi. Ketika namanya dipanggil, Kevin berdiri dan bertepuk tangan paling keras. Seusai acara, Kevin menggenggam tangan Nachia dan menariknya ke samping panggung. Di hadapan ibu Kevin dan keluarga Nachia, Kevin membuka kotak kecil berisi cincin perak sederhana.

"Aku tahu Ayahmu nggak bisa hadir, dan Ayahku pun tidak ada di sini. Tapi aku ingin kamu tahu, cincin ini bukan cuma simbol. Ini bentuk seriusku. Aku ingin kamu jadi rumahku. Aku ingin kita saling pulang, satu sama lain. Nikah sama aku, Nachia."

Air mata Nachia tak bisa dibendung. Dia menatap ibunya yang mengangguk dengan senyum. Ibu Kevin ikut menangis. Dengan suara bergetar, Nachia mengangguk, "Iya, aku mau.

Beberapa minggu setelah kelulusan, mereka memutuskan mendaki gunung Papandayan. Gunung itu tidak terlalu tinggi, tapi cukup menantang untuk pasangan yang belum pernah mendaki bersama. Sepanjang perjalanan, mereka tertawa, saling memberi semangat. Saat sampai di Tegal Alun, hamparan padang edelweiss menyambut mereka. Angin sejuk membawa harum tanah dan kabut lembut menyapu wajah mereka. Di puncak, mereka duduk berdua memandangi langit senja yang berwarna jingga kemerahan, lalu berganti menjadi langit malam bertabur bintang. Di sana, mereka bicara soal masa depan, soal rumah kecil dengan dinding kayu dan suara hujan yang jatuh di atap.

Beberapa bulan kemudian, ulang tahun Nachia tiba. Hari itu hujan turun sejak pagi. Nachia tidak berharap banyak. Kevin mengajaknya ke sebuah restoran sederhana di pinggir kota. Makan malam berjalan biasa, hingga tiba-tiba Kevin mengatakan bahwa dia ingin menunjukkan seseorang.

"Nachia, perkenalkan ini ayahku," ungkap Kevin sambil tersenyum kepada Nachia yang sedang asyik menikmati makan malam mereka.

Nachia mengangkat wajah, masih tersenyum mendengar perkenalan itu. "Selamat malam, P–" ucapannya terhenti di tengah jalan.

Mendadak keheningan menguasai meja makan. Tak ada suara. Tak ada gerakan. Hanya pandangan yang saling bertabrakan di antara tiga orang itu. Nachia menatap lamat-lamat wajah pria paruh baya yang berdiri di depannya. Matanya membesar, pupilnya bergetar. Sementara Kevin menatapnya bingung, dan sang pria di seberang meja tampak sama terkejutnya.

Tubuh Nachia mulai bergetar hebat. Kakinya seperti tidak lagi berpijak di lantai. Seluruh badannya mendidih, seolah darahnya mendadak mendidih, bercampur sakit yang datang dalam satu hentakan waktu yang bersamaan.

"Kita batalin rencana nikah," ujar Nachia pelan, tapi tegas. "Aku nggak bisa sama kamu. Maaf atas semuanya."

Tanpa banyak kata, Nachia mengeluarkan dompet dari tasnya. Tangannya gemetar saat dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di meja.

"Ini… buat bayar makan malam kita."

Lalu dia berdiri, dan tanpa menatap siapa pun, melangkah pergi dengan cepat.

Kevin menoleh kaget. "Ini ada apa, Pah?"

Ayahnya menunduk pelan. "Kejar saja dia. Papah mau pergi dulu sebentar."

Tak menunggu penjelasan, Kevin langsung berdiri dan berlari menyusul Nachia yang sudah meninggalkan restoran. Langkah kakinya dipacu oleh rasa panik, rasa tidak tahu, dan rasa takut akan kehilangan. Di luar, udara malam yang lembab tak mampu menyejukkan gejolak yang memuncak dalam dirinya.

Nachia sudah cukup jauh. Tubuhnya berlari, namun air matanya mengalir deras. Nafasnya sesak karena tangis dan lari yang bercampur. Kevin mempercepat langkah, dan akhirnya berhasil meraih bahu Nachia.

"Kamu kenapa, sayang?" tanyanya dengan napas terengah, tangannya menggenggam bahu Nachia.

Lihat selengkapnya